Meneladani Kisah Sebutir Nasi

September 19, 2023
Meneladani Kisah Sebutir Nasi

Habib Luthfi menyaksikan Kiai Sepuh ketika sedang dhahar (makan), ada butiran nasi yang terjatuh lalu dipungut dan dikembalikan ke piring untuk dimakan kembali. Habib Luthfi bertanya kepada Kiai Sepuh “Kenapa harus diambil Yai? kan cuma sebutir nasi?” Kiai Sepuh dengan tegas menjawab “Lho… Jangan kita lihat nasi yang sebutir itu Yik. Apakah kamu akan bisa membuat nasi satu butir saja, atau bahkan jika seperseribu menir saja?”. Deg…Habib Luthfi Muda seketika terdiam.

Kiai Sepuh melanjutkan, “Ketahuilah Yik, saat kita memakan sebuah nasi, sesungguhnya Gusti Allah telah menyatukan berbagai peran orang lain di dalamnya. Nasi itu namanya Sego bin Beras bin Gabah al-Pari. Mulai dari mencangkul, menggaru, meluku, menanam benih, memupuk, menjaga dari serangan hama hingga memanen, ada banyak sekali jasa orang lain, dari beras menjadi nasi juga banyak sekali peran hamba Allah disana”.

“Ketika ada satu butir nasi, atau menir sekalipun yang jatuh ambillah. Jangan mentang-mentang kita masih punya cadangan nasi, sebutir nasi itu kita buang begitu saja, karena hal itu termasuk salah satu bentuk takabbur, dan Gusti Allah tidak suka dengan manusia yang takabbur. Jadi, selama sebutir nasi itu terjatuh tidak kotor dan tidak membawa mudharat bagi kesehatan kita, maka ambillah, satukanlah dengan nasi lainnya, sebagai bagian dari syukur kita”. Habib Luthfi menyimak lebih dalam.

“Karena itulah ketika akan makan, diajarkan doa: Allahumma bariklana (Ya Allah, semoga Engkau memberkahi kami). Bukan Allahumma barikli (Ya Allah semoga Engkau memberkahiku) walaupun sedang makan sendirian.

Lana itu maknanya untuk semuanya. Mulai dari petani, pedagang, pengangkut, pemasak hingga penyaji, semuanya termaktub dalam doa tersebut. Ini sebagai salah satu ucapan syukur serta mendoakan semua orang yang berperan dalam kehadiran nasi yang kita makan”.

“Satu lagi, mengapa orang makan kok ada doa: waqina ‘adzabannar (Jagalah kami dari siksa api neraka). Terus, apa hubungannya antara makan dengan neraka? kan tidak nyambung?” “Iya Yai, kok bisa ya?” Tanya Maulana Habib Luthfi muda dengan penasaran.

“Begini Yik, makan itu sebenarnya hanya sebuah wasilah. Kenyang itu yang memberikan hanya Gusti Allah saja. Jadi, kalau kita makan dan menganggap bahwa yang membuat kenyang adalah makanan yang kita makan, maka takutlah! karena hal itu akan menjatuhkan kita ke dalam kemusyrikan. Dosa terbesar bagi orang beriman”.

Astaghfirullahal’adhim…” batin Habib Luthfi muda yang tidak menyangka bahwa maknanya akan sedalam itu.

“Bayangkan saja Yik. Demikian juga ketika kita makan dan minum tapi tidak dijadikan untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga kita karena Gusti Allah tidak menghendaki, apalah jadinya?”. [Irsyad Maulana]