Memahami Puasa dalam Perspektif Irfani
Puasa (Shaum) merupakan salah satu rukun Islam yang wajib untuk dilaksanakan oleh setiap umat muslim di seluruh belahan dunia. Puasa terbagi menjadi dua macam yaitu, puasa wajib seperti puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadan dan puasa sunat yakni puasa yang dikerjakan pada tiap-tiap keadaan seperti puasa arafah, puasa asyura, puasa senin-kamis, puasa hajat dan lain sebagainya,

Puasa (Shaum) merupakan salah satu rukun Islam yang wajib untuk dilaksanakan oleh setiap umat muslim di seluruh belahan dunia. Puasa terbagi menjadi dua macam yaitu, puasa wajib seperti puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadan dan puasa sunat yakni puasa yang dikerjakan pada tiap-tiap keadaan seperti puasa arafah, puasa asyura, puasa senin-kamis, puasa hajat dan lain sebagainya,
Dalam ilmu tasawuf terdapat pandangan dan kajian tersendiri mengenai puasa yang dikenal dengan istilah irfani. Epistemologi irfani adalah sistem pengetahuan yang bertitik tolak pada al-‘ilm al-hudluri. Episteme ini dikembangkan para sufi, terutama tasawuf falsasfi. Pendekatan irfani berdasarkan kepada upaya meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin melalui pembersihan jiwa, sehingga suatu keputusan tidak hanya didasarkan kepada kecanggihan otak belaka, tetapi juga didasarkan atas adanya kepekaan nurani untuk menginsafi berbagai masalah dan keputusan yang diambil mengenainya dan mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Tinggi.
Dasar ontologis irfani yaitu wahdatul wujud. Paham wahdatul wujud ini mengenalkan bahwa realitas itu hanya ada satu yang ditempati Allah semata, dan benda-benda selain Allah hanyalah bayangan, yang hakikatnya bukan wujud. Para sufi bahkan menyebut alam, yakni segala sesuatu selain Allah, sebagai tajalli (penampakan-diri) Tuhan. Pandangan ini diyakini oleh Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Al-Qunawi, Abdul Karim al-Jili, HamzaH Fansuri, dan sejumlah ulama sufi lainnya.
Dengan demikian dalam pandagan irfani, kajian puasa tidak sebatas dalam pandangan lahir saja tapi mengkaji ke aspek batin. Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitab Sirrul Asrar membagi puasa menjadi tiga macam, yaitu Puasa Syariat, Puasa Tarekat dan Puasa Hakikat.
Puasa Syariat adalah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri pada siang hari.ini puasa orang-orang umum Yaitu telah masyhur dijelaskan di dalam kitab-kitab fikih sesuai dengan Madzhabnya masing-masing.
Puasa Tarekat adalah menahan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang diharamkan dan menjauhi sifat-sifat tercela, seperti ujub, sombong, dengki, bakhil, riya dan sebagainya, baik secara zahir maupun secara batin, siang dan malam hari. Sebab semua itu membatalkan Puasa Tarekat. Puasa Syariat dilakukan pada waktu tertentu, sedangkan puasa tarekat dilakukan seumur hidup. Rasulullah saw. bersabda,
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطس
“Betapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga (HR. Ahmad).
Dan juga Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi,
يصير للصائم فرحتان: فرحة عند الأفطار وفرحة عند رؤية جمالي
“Orang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan; bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika melihat Keindahan-Ku” (HR. Bukhari).
Menurut ahli syariat, maksud dari berbuka (al-ifthar) itu adalah makan pada saat matahari tenggelam, sedangkan rukyah adalah melihat hilal pada malam hari raya. Sementara menurut ahli tarekat, berbuka itu adalah saat ia masuk ke surga, saat seorang hamba mencicipi semua kenikmatan surga, sedangkan maksud kegembiraan ketika rukyah adalah mampu melihat Allah secara nyata pada hari kiamat dengan pandangan sirri (rahasia).
Dalam kitab Asraruddin dijelaskan puasa tarekat adalah Adalah menahan diri dari segala yang dibenci oleh segala makhluk dan menahan diri dari mengikuti hawa nafsu dan menahan diri daripada mengeluh kesah akan terkena bala, mengeluh kesah dalam berbuat ibadah dan mengeluh kesah menahan qadha dan qadar dari Al-Haq Ta’ala.
Adapun bagi para ahli tarekat tidak hanya sekedar memahami pengertian puasa tarekat tersebut, melainkan wajib di implementasikan puasa tarekat melalui praktik-praktik amaliah tarekat. Seperti yang khusus bagi kalangan tarekat Naqsyabandi Khalidiyah dengan melakukan sistem suluk pada bulan ramadan, ada suluk 5 hari suluk 10 hari hingga suluk 20 dan 30 hari penuh pada bulan ramadan, sebagai bentuk pembersihan jiwa agar nilai-nilai puasa tarekat terealisasi secara komprehensif.
Adapun Puasa Hakikat adalah menahan hati untuk tidak mengingat selain Allah Swt. dan menahan Sirri (rahasia) supaya tidak musyahadah (penyaksian) kecuali hanya kepada Allah Swt.. Sebagaimana firman-Nya dalam Hadis Qudsi,
الإنسان سري وأنا سره
“Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya”
Sirri (rahasia) itu bersumber dari cahaya Allah, jadi tidak mungkin berpindah dari selain-Nya. Oleh karena itu, tidak ada yang dicintai dan dicari di kolong dunia maupun akhirat selain Allah. Jika ia jatuh cinta kepada selain Allah, maka batallah puasa hakikat. Semakin terang cahaya Allah masuk kedalan hati, dari hati masuk ke dalam sirri dan ruh, maka semakin meluap cinta kepada Allah Swt. Kemudian dari rasa cinta ini mengantarkan kepada wahdatul wujud.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin Juz I Bab Tilawatul Qur’an mengatakan,
فمن عرف الحق راه في كل شيء إذ كل شيء فهو منه وإليه وبه وله فهو الكل على التحقيق. ومن لإيران في كل مايراه في كل ما يراه فكأنه ما عرفه. ومن عرف عرف ان كل شيء ما خلاالله باظل وأن كل شيء هالك إلا وجهه. لا أنه سيبطل في ثاني الحال بل هو الآن باطل إن اعتبر ذاته من حيث هو إلا أن بعتبر وجود من حيث إنه موحود بالله عزوجل وبقدرته فيكون له بطريق التبعية ثبات وبطريق الاستقلال بطلان محض، وهذا مبدأ من مبادئ علم المكاشفة.
“Barangsiapa mengenal Al-Haq, maka ia melihat-Nya pada setiap sesuatu, karena segala sesuatu itu berasal dari pada-Nya, kepada-Nya, dengan-Nya dan karena-Nya. Maka Dia adalah keseluruhan secara nyata. Barangsiapa tidak melihat-Nya pada setiap apa yang dilihatnya, maka seolah-olah ia tidak Mengenal-Nya. Dan barangsiapa Mengenal-Nya, maka ia mengetahui bahwa segala sesuatu selain Allah adalah bathil dan segala itu binasa selain Dzat-Nya, bukan sesuatu itu akan bathil keadaan yang kedua, tetapi akan bathil sekarang jika Dzatnya dipandang dari segi dzatnya kecuali adanya itu dipandang wujud karena Allah dan kekuasaanNya. Maka adanya dengan jalan mengikuti (adanya karena diadakan Allah Ta’ala) adalah Haq, dan adanya dengan jalan merdeka/keakuan diri (ada sendiri) adalah bathil semata-mata. Ini adalah prinsip dari ilmu mukasyafah.”