MATAN UINSA Kaji Lailatul Qadar Menurut Tasawuf

Surabaya, JATMAN Online – Sejak bulan rajab kita telah dianjurkan Nabi untuk mempersiapkan bulan Ramadan, Nabi mengajarkan doa اللهم بارك لنا في رجب وشعبان، وبلغنا رمضان. Nabi sejak bulan rajab dan sya’ban sudah memperbanyak puasa daripada bulan-bulan sebelumnya. Maka dari itu, para sufi sudah memulai riyadhoh mulai bulan rajab untuk menuju bulan Ramadan.
Hal itu disampaikan Pembina Mahasiswa Ahlith Thoriqoh al Mu’tabaroh an Nahdliyyah (MATAN) Unversitas Negeri Islam Sunan Ampel (UINSA), Dr. KH. Moh. Yardho, M. Th. I. dalam kajian Ramadan MATAN UINSA dengan tema “Lailatul Qadar perspektif Tasawuf” yang diselengarakan secara online pada Rabu (13/04/2023).
Kiai Yardho, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga unsur bagian: ruh, nafsu, jasad. Sejak bulan rajab hingga Ramadan, yang dilakukan oleh para sufi merupakan bagian dari riyadhoh ruh, prosesnya dinamakan takhalli, tahalli, dan tajalli.
“Makan dan minum itu kemauan fisik dan nafsu, tapi berlebihan itu kemauan nafsu. Berbeda dengan kemauan ruh, tidak butuh makan dan minum, tapi selalu dekat dengan pencipta-Nya. Jika kita memperkuat makan dan minum, dikhawatirkan porsi ruh kita melemah, yang pada akhirnya akan tumpul rasa kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Tuhan,” katanya.
“Adapun takhalli, membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang timbul dari pikiran dan hati, kalau makna yang dalam lagi membersihkan dari selain Allah. Tahalli, menghiasi diri dengan kebaikan, dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Puncaknya yakni tajalli, hasil atau pencapaian dari takhalli dan tahalli. Bagi para sufi tajalli digambarkan dengan didapatkannya lailatul qadr.” Imbuhnya.
Dari sini, perbedaan sudah terlihat lailatul qadar menurut kaum sufi dan kaum umum. Bagi masyarakat umum lailatul qadar berada di 10 malam terakhir, sesuai sabda Nabi riwayat bukhari, “carilah lailatul qadr pada malam ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadan”. Sedangkan bagi kaum sufi, lailatul qadar bisa didapat pada malam apapun entah itu 10 akhir, tengah, bahkan awal Ramadan, tergantung pencapaian masing-masing individu.
Kiai Yardho menjelaskan, lailatul qadar merupakan sebuah pencapaian pencerahan spiritual. Yakni malam di mana seorang hamba mengenal dirinya juga mengenal Tuhannya.
“Ibnu Arabi dalam kitabnya mengatakan, lailatul qadar yakni pencapaian seseorang yang bisa fana’ terhadap tuhan-Nya dan mengenal Tuhan-Nya. Sedangkan, al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan bahwa lailatul qadar adalah seorang hamba tersingkap hatinya melihat tajalli khusus sehingga ia mengenal Tuhan-Nya,” ucap Wakil Ketua 3 MATAN Jawa Timur.
Terakhir, Kiai Yardho menerangkan pencapaian spiritual Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam atau yang biasa dikenal dengan penerimaan wahyu pertama Nabi di Goa Hira’.
“Sayyidah Aisyah mengatakan pertama kali wahyu turun diawali dengan mimpi yang benar ditandai dengan fajar shadiq ketika Nabi berada di Goa Hira’. Pada waktu itu Nabi bertapa, istilahnya ber-takhalli kepada Allah subhanahu wa ta’ala selama beberapa hari, pulang ketika bekal yang dibawanya sudah habis. Singkat cerita pada malam 17 Ramadan Nabi didatangi Malaikat Jibril dengan membawa wahyu surat al-Alaq 1-5. Ini merupakan awal Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam mengenal Tuhan-Nya,” pungkasnya.
Pewarta: Ahmad Rizkiansah Rahman (Kader MATAN Kota Surabaya)
Editor: Arip Suprasetio