Kelahiran dan Nasab Syekh Abdul Qodir al-Jilani
Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan kepada wali agung Syaikh Abdul Qâdir al-Jailânî. Syaikh Abdul Qâdir al-Jailânî dilahirkan pada tahun 471 Hijriyah di daerah Jilan, yaitu sebuah pedesaan yang terletak di daerah Thabaristan. Pada waktu kecil, ia tidak mau menyusu pada ibunya di siang hari pada bulan Ramadhan. Ketika berusia remaja, ia mengembara untuk menuntut ilmu fikih kepada beberapa orang guru. Diantaranya adalah Syaikh Abu Wafâ ‘Ali bin ‘Aqîl, Abu Khathab al-Kalwâdzânî, Abu Husain Muhammad bin Qâdhî Abu Ya’la dan lainnya.
Nama lengkapnya adalah Sayyid Abu Muhammad Abdul Qâdir al-Jailânî putra dari Abu Shâleh Mûsâ Jangkî Dausat bin Abdullah. Ayahnya merupakan keturunan Imam Hasan al-Mutsannah bin al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thâlib yang juga putra Fâtimah az-Zahrâ binti Rasulullah. Syaikh Abdul Qâdir al-Jailânî lahir pada hari Senin saat terbitnya fajar, tanggal 1 Ramadhan 470 H, atau 24 Maret 1077 M di desa Jailan/Jilan.
Nama desa ini kemudian dinisbatkan kepada nama akhir beliau yakni al-Jilani. Letak desa ini berada di kota terpencil yakni Tabaristan yang kini termasuk wilayah Iran. Syaikh Abdul Qâdir al-Jailânî lahir dari seorang ayah bernama Abu Shaleh Musa bin Abdullah bin Musa al-Jun dan dari ibu yang bernama Sayyidina Fatimah binti Sayyid Abdullah al-Shauma’i al-Zahid. Ayah Abdul Qâdir al-Jailânî adalah Abu Shaleh Musa bin Abdullah bin Musa Al-Jun, beliau merupakan orang yang sangat zuhud dan rajin beribadah hingga beliau mendapa gelar dalam bahasa Persia dengan sebutan “Jangki Dausat “ atau “Muhib al-Jadid “ yang berarti orang yang mencintai jihad melawan hawa nafsu.
Dari jalur sang ayah, silsilah Syekh Abdul Qadir bisa dirunut sebagai berikut:
- Syaikh Abdul Qadir, bin
- Abu Shaleh, bin
- Abu Abdillah, bin
- Az-Zahid, bin
- Muhammad Al Akbar, bin
- Dawud, bin
- Musa As Tsani, bin
- Abdullah Tsani, bin
- Musa al Jaun, bin
- Abdullah Mahdi, bin
- Hasan al Musanna,bin
- Hasan as Sibthi, bin
- Ali, bin Abi Tholib (Suami Fatimah Az Zahra binti
Rasullah saw).
Sementara dari garis ibu, silsilah Syaikh Abdul Qadir bisa ditelusuri sebagai berikut:
- Syaikh Abdul Qadir, bin
- Ummul Khair Fatimah, binti
- Abdullah Atha’, bin
- Mahmud, bin
- Kamaludin Isa, bin
- Abi Jamaluddin, bin Abdullah Sami’ Az Zahid, bin
- Abu Alauddin al Jawwad, bin
- Ali Ridho, bin
- Musa Al Kazhim, bin
- Ja’far as Shodiq, bin
- Muhammad Al Baqir, bin
- Zaenal Abidin, bin
- Husen, bin
- Ali bin Abi Tholib (suami Fatimah Az Zahra binti
Rasulullah saw)
Keistimewaan Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî mulai nampak semenjak beliau baru lahir. Hal ini dikarenakan semenjak masih bayi ia ikut puasa dengan tidak meminum ASI pada siang hari. Hal ini berdasarkan penuturan Sayyidah Fatimah (ibunda Syaikh Abdul Qadir). Dalam kisah lain. Sang ibu menuturkan: “Semenjak aku melahirkan anakku, ia tidak meminum air susu di siang hari pada bulan Ramadhan“.
Suatu ketika di bulan Ramadhan lantaran hari berawan dan mendung, orang-orang bingung karena tidak bisa melihat matahari guna menentukan telah masuknya waktu berbuka pusa. Mereka menanyakan pada Sayyidah Fatimah akan masalah ini, karena mereka tahu bahwasannya bayi dari Sayyidah Fatimah tidak pernah meminum ASI di siang hari pada bulan Ramadhan. Dan ketika itu pula mereka mendapatkan jawaban, bahwasanya sang bayi (Syaikh Abdul Qadir kecil) ketika meminum ASI, waktu telah menunjukkan berbuka puasa.
Perihal berapa usia ibu Syaikh Abdul Qadir al-Jailânî (Sayidah Fatimah) ketika melahirkanya, ada 2 (dua) versi:
- Dalam kitab “Mahkota Para Aulia“ dan “Nurul Burhan“ bahwasannya Sayyidah Fatimah mengandung beliau ketika usianya udah mencapai 60 (enam puluh) tahun.
- Dalam kitab “Qoladi al Jawahir“ di sampaikan bahwasannya Sayidah Fatimah mengandung beliau ketika masih berusia 16 (enam belas) tahun.
Nasab Keilmuan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Keluarga Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani telah menyadari bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Oleh karena itu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani telah dikirim oleh ibunya ke Madrasah lokal di Kota Jilan untuk belajar agama Islam sejak berumur lima 5 (lima) tahun, dan beliau menuntut ilmu di Madrasah tersebut selama 10 (sepuluh) tahun.
Setelah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berusia 18 (delapan belas) tahun, beliau memohon ijin kepada ibunya untuk melanjutkan pendidikannya di Baghdad. Ibunya menyetujui anaknya untuk menuntut ilmu di Baghdad karena memang pada masa itu pusat ilmu pengetahuan berada di kota tersebut. Sesampainya di Baghdad pada 488 H, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menimba ilmu di “Jami’ah Nizamiyah” yang merupakan pusat pendidikan Islam pada masa itu. Madrasah Nizamiyah merupakan satu satunya lembaga pendidikan teologi yang diakui Negara. Madrasah Nizamiyah didirikan pada tahun 1065 M oleh Menteri Persia yakni Nizam al-Mulk. Di Madrasah tersebut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani sempat berguru kepada ulama-ulama tersohor dan mendapat ilmu qira’at, tafsir, hadits, fiqih, dan tarekat.
Adapun ulama’ tersebut adalah:
- Abul Wafa’ Ali Ibnu Aqil
- Abu Zakaria Yahya bin Ali at Tibrizi.
- Abu Sa’id bin Abdul Karim
- Abul Anaim Muhammad bin Ali bin Muhammad
- Abu Sa’id bin Mubarok al Mahzumi
- Abu Khoir Hammad bin Muslim Addabbas.
Dalam bidang hadits, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani memperoleh ilmu dari beberapa ulama, diantaranya:
- Sayyid Abul Barokat Talhah al Quli
- Abul An’am Muhammad bin Ali bin Maemun al Farisi
- Abu Utsman Ismail bin Muhammad al Isbhihani.
- Abu Gholib Muhammad bin Hasan al Baqilani.
- Abu Muhammad Ja’far bin Ahmad bin Husaini.
- Sayyid Muhammad Muhtar al Hasyimi.
- Sayyid Abu Manshur Abdurrahman al Qoz’az.
- Abul Qosim Ali bin Ahmad Ban’an al Karghi.
Dalam bidang fiqih, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berguru pada beberapa ulama’ diantaranya:
- Abul Wafa’ Ali Ibnu Aqil.
- Abul Hasan Muhammad bin Qodhi Abul Ula.
- Aul Khattab Mahfudz al Hambali.
Dalam bidang adab, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berguru pada: Al Alamah Abu Zakaria at Tabrizi, beliau merupakan salah satu ulama yang mashur dan cukup produktif pada masa itu, karya belliau diantara adalah “Tafsir Alqur’an wa I’rob” , “Syarah Qoshoidul Asyr“ dan “Sarah Diwan abu Tamam” Selain mendalami berbagai macam ilmu agama, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga mendalami ilmu Tasawuf.
Dalam mendalami ilmu tasawuf, beliau berguru pada Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pemikiran-pemikiran Syaikh Ad-Dabbas inilah yang kemudian banyak mempengaruhi kehidupan sufistik Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Syaikh ad-Dabbas dikenal berkepribadian sangat keras, tegas dalam tutur kata, dan kaku dalam bergaul. Metode yang dipakai Syaikh ad-Dabbas adalah metode mujahadah, perlakuan keras yang dilakukan oleh Syaikh ad-Dabbas itulah kemudian menjadi ujian bagi para murid-muridnya, hal inilah yang menjadi takaran seberapa jauh tingkat kesabaran dan ketabahan seorang murid, sebab tasawuf itu menjauhi kesenangan dan hawa nafsu.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga pernah mengasingkan diri selama 25 tahun. Berjalan menyusuri pegunungan Irak dan desa yang tak perpenduduk. Dalam perjalanannya itu, ia tak mengenali orang dan orang juga tak mengenalinya. Pada awal pengembaraannya ia melalui rintangan-rintangan yang berat, jarang tidur dan jarang tidur. Bahkan dalam beberapa hari ia tidak makan.
Editor: Hamzah Alfarisi
Sumber: Tim Penyusun (Idarah Aliyah JATMAN). 2022. Menyimak Biografi Pendiri Thariqah Mu’tabarah. Pekalongan (ID): JATMAN.