KH. Moch. Djamhari Ghozali Anwar merupakan ulama thariqah sekaligus Muassis Pondok Pesantren An-Nur, Trisono, Babadan, Ponorogo, Jawa Timur. Ia lahir dari pasangan suami istri Muhammad Darman dan Nyai Satinem dari Desa Banaran, Delopo, Madiun.
Sewaktu kecil, Kiai Djamhari hanya berguru kepada ulama-ulama kampung. Barulah setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Tebu Ireng di bawah asuhan KH. Hasyim Asyari. Belum seberapa lama Kiai belajar bersama Hadratussyekh, ia sudah diperintahkan oleh sang guru untuk melanjutkan pencarian ilmunya ke arah barat. Ini dikarenakan Kiai Hasyim sudah melihat potensi lain dalam diri Kiai Djamhari.
Kemudian Kiai mengikuti perintah gurunya untuk terus berjalan ke arah Barat sampai ia bertemu Syekh Imam Bakri dan Syekh Imam Rifai. Menurut keterangan KH. Muhammad Fuaidil Khalik Alhamdani, selaku pengasuh Pondok Pesantren An-Nur, mereka bertemu di wilayah Cirebon dan Banten. Dari kedua ulama tersebut, Kiai mendapatkan ijazah satu, dua dan tiga. Ijazah dua dan tiga ia dapat dari Syekh Imam Bakri dan ijazah satu ia dapatkan dari Syekh Imam Rifai. Ijazah ini pula yang nantinya akan diajarkan kepada para muridnya yang diberi nama Asmaul Haq
Setelah Kiai beranjak dewasa, ia menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari Baleboto, Madiun dan tinggal di sana. Bersamanya, Kiai dikaruniai empat orang puteri. Kemudian Kiai menikah lagi dengan istri kedua yang berasal dari Babadan, Ponorgo dan hijrah ke sana. Istrinya tersebut bernama Nyai Ismi Munawwarah. Dari istri yang kedua ini, Kiai dikaruniai dua orang putra dan putri. Sayangnya, sebelum dewasa keduanya meninggal. Akhirnya, Kiai mengangkat tiga keponakan dari istrinya untuk dijadikan anak, mereka adalah Ning Harin Darmasastuti, Gus Arba’ dan Ning Nuraini. Bersama istrinya yang kedua ini lah Kiai mendirikan Pondok Pesantren An-Nur.
Setelah itu, Kiai menikah lagi dengan seorang perempuan dari Sareng, Madiun dan dikaruniai seorang putra yang bernama Gus Zamzuli. Kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan dari Tulungagung dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Gus Andri dan Gus Maksum Singgih Kusumo Yudo.
Berdirinya Pondok Pesantren An-Nur
Setelah berguru kepada Syekh Imam Bakri dan Syekh Imam Rifai, Kiai Djamhari mendapat mandat untuk melakukan baiat oleh gurunya. Namun, karena rasa ta’zimnya, ia menolak sebanyak tiga kali dengan alasan sang syekh masih ada. Kiai akan menyanggupi amanat itu jika gurunya tidak mau lagi membaiat dan ia sudah mendapatkan derajat yang sama seperti gurunya.
Akhirnya Syekh Imam Rifa’i berdoa dan diamini oleh Kiai Djamhari. Seketika itu, atap masjid seakan hilang tembus ke jagad raya bertabur bintang. Sedangkan dari timur terpancar cahaya putih memanjang memenuhi cakrawala, cahayanya meliputi ufuk timur dan barat.
Setelah kembali ke asal, Kiai membuka sebuah perguruan bernama Bunga Islam (BI). Secara kemasan, perguruan tersebut memang didirikan sebagai wadah pencak silat Bunga Islam. Tapi secara substansi, perguruan itu dijadikan sarana dakwah, sebagaimana Sunan Bonang dan Sunang Kalijaga yang menjadikan kesenian budaya sebagai media dakwah. Sedangkan tujuan Kiai mendirikan perguruan itu adalah untuk mengembangkan keilmuan Asmaul Haq yang dikemas dengan pencak silat. Terlebih di Ponorogo sendiri pada waktu itu merupakan basis pencak silat.
Perguruan BI bisa diikuti oleh siapapun dengan syarat anggota tersebut melaksanakan shalat lima waktu, menjauhi molimo, memiliki perilaku sabar dan akhlak yang baik. Oleh sebab itu, BI menamakan seluruh anggotanya dengan sebutan santri. Karena memang ketika masuk bunga Islam, pada dasarnya mereka mengaji sebagaimana di pesantren lain.
Dahulu, perguruan ini bisa menerima 500-600 orang setiap harinya untuk menjadi santri. Bahkan untuk bertemu dengan Kiai bisa menunggu 2-3 hari karena saking banyaknya antrian. Untuk efisiensi waktu, mereka memilih menginap di sekitar lokasi tersebut. Karena banyaknya calon santri yang menunggu, akhirnya Kiai membangun tempat menginap seadanya. Tapi semakin lama jumlah mereka semakin banyak dan mereka merasa nyaman tinggal di tempat tersebut dan tidak mau pulang. Atas dasar itu lah Kiai mendirikan Pondok Pesantren An-Nur. Nama An-Nur sendiri dinisbatkan dari anak angkatnya yang ketiga yang bernama Nuraini.
Selama hidupnya, Kiai memimpin Pondok Pesantren An-Nur hanya selama 15-16 tahun, yakni sejak babat alas sekitar tahun1984 hingga wafatnya pada tahun 1999. Namun dengan dakwahnya yang relatif singkat itu, Kiai sudah bisa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan santrinya ada yang berasal dari Malaysia, Brunei Darussalam dan beberapa negara lain.
Sayangnya, santri-santri lamanya banyak yang tidak terdata. Sehingga tidak bisa terkodifikasi dengan baik. Namun dapat diketahui, termasuk santri Kiai juga Bapak Harmoko, Bapak Muslimin Nasution, Bahkan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dai sejuta umat KH. Zainudin MZ hingga raja dangdut Rhoma Irama pernah berguru kepadanya.
Seiring perkembangan zaman, An-Nur yang dulunya hanya menyediakan perguruan Bunga Islam, sekarang bertransformasi menjadi Pondok Pesantren pada umumnya, yaitu memiliki pendidikan formal setingkat MTs dan MA. Adapun kegiatan pembaiatan hingga kini masih dilakukan pada Hari Jumat setelah jumatan untuk di pusat dan untuk di luar jawa selain hari Jumat sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai.
Wafatnya Sang Ulama dan Penerus Estafet Perjuangan
Menjelang hari-hari terakhirnya, Kiai jatuh sakit. Ketika bertepatan dengan Hari Jumat, Kiai bertanya kepada pengurus yang kala itu mendampingi, “Hari ini ada baiatan apa tidak?”
Kemudian dijawab, “Tidak ada baiat. Panjenengan kan sakit.”
Mendengar jawaban itu, Kiai malah sedih dan berkata,
“Kenapa harus berhenti? Teruskan saja. Di pondok ‘kan banyak yang bisa untuk mewakili saya. Ada organisasi dan ada pengurusnya yang bisa mengaturnya. Jangan menunda dan menahan hidayah mereka yang mencari jalan kebenaran ilmu yang haq.”
Sebelum kepergiannya, Kiai tidak memberikan isyarat terbuka kepada siapa yang akan menjadi penerusnya. Tapi dahulu, ada rekaman dari sebuah kaset ketika pendadaran dua, Kiai pernah menyampaikan di masjid bahwa,
“Sesok seng nerusno aku neng kene (Besok yang meneruskan saya ada di sini –sambil menunjuk ke arah lantai masjid).”
Beruntungnya, ketika ditinggal olehnya, secara lahir, Kiai sudah membuatkan wadah untuk dimusyawarahkan bersama keluarga meskipun dalam banyak versi ada yang mengaku diberi amanah oleh Kiai.
Setelah wafatnya Kiai, salah seorang dari putranya menemukan tulisan tangan Kiai yang berisi beberapa nama yang tidak diridlai Kiai jika mereka mendirikan BI sendiri. Benar saja, kebanyakan yang membuka pendidikan sendiri tanpa restu Kiai tidak akan bertahan lama.
Kiai Djamhari dikebumikan di area Pondok Pesantren An-Nur sebagaimana wasiatnya yang ingin dimakamkan di lokasi tempat ia berjuang. Setelah kepergiannya, banyak santri yang kehilangan arah. Kemudian para pengurus sowan kepada Kiai sepuh dengan niat menanyakan bagaimana kelanjutan BI ini. Tapi ternyata yang disowani itu juga santrinya Kiai.
Akhirnya, Pengasuh Pesantren sempat mengusulkan untuk membuat panduan yang diperuntukkan bagi kader yang berisi kitab tentang Tauhid, Syariat, Tasawuf, untuk diajarkan kepada santri. Sehingga setiap cabang ada majelis zikirnya, dapat mengadakan kegiatan rutinan sebulan sekali.
Seputar Asmaul Haq
Isi dari Asmaul Haq adalah mengajarkan Tauhid, yaitu mengesakan Allah sebagaiman yang diajakarkan oleh Syekh Imam Bakri dan Syekh Imam Rifai. Intinya, mempelajari bagaimana mendekatkan diri kepada Allah. Jika dianalogikan, Islam seperti lautan yang berisi pemandangan, ikan dan biota-biota laut yang bisa dinikmati. Tapi ada bagian laut yang tidak bisa dinikmati, yaitu bagian paling dasar.
Begitu pula di BI, ada senam, ada latihan fisik, latihan pernapasan dan latihan bela diri serta ilmu hikmah yang bisa dinikmati untuk kesehatan raga. Namun di dalam BI ada substansi dari latihan itu, yaitu Ilmu Tauhid, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan seorang hamba jika sudah dekat dengan Tuhannya, meminta apapun pasti akan diberikan. Maka dari itu, Kiai Djamhari pernah mengatakan jika ilmu BI ini bisa bermanfaat untuk apa saja dengan syarat tidak hanya sekedar menjadi santri BI tapi juga mengamalkan seluruh ajaran Islam.
Karena cara memperolehnya yang dianggap tidak masuk akal, serta keberadaan guru yang tidak diketahui secara pasti, sempat ada masa di mana ajaran ini dianggap sesat. Lalu dari pengurus yang berinisiatif untuk melakukan tabayun kepada masyarakat NU dengan menanyakan kepada Kiai Mahrus dan itu dishahihkan. Tidak puas dengan hanya satu Kiai, mereka juga pernah mengajukan ijazah sanad Asmaul Haq kepada Habib Luthfi dengan menyertakan ajaran dan wirid yang diamalkan. Kemudian Habib Luthfi menshahihkan. Bahkan Habib pernah berkata bahwa ia ingin ke Ponorogo. Namun sayangnya belum pernah tersampaikan hingga saat ini.
Karamah Kiai Djamhari
Sebagaimana waliyullah yang tidak pernah terlepas dari karamah, begitu pula yang dianugerahkan Allah kepada Kiai Djamhari. Tercatat ada beberapa keanehan yang dialami muridnya selama dan setelah belajar bersama Kiai Djamhari.
1. Cerita dari Bapak Abdul Malik Tuban
Bapak Abdul Malik adalah santri sekaligus supir pribadi Romo Yai Djamhari. Suatu ketika, Kiai hendak menghadiri acara baiatan di daerah di Sumatera dengan membawa mobil yang disupiri Pak Malik. Ketika perjalanan memasuki tengah hutan yang jalannya agak menanjak, tiba-tiba mobilnya mogok dan hal yang harus dilakukan agar mesinnya dapat hidup kembali adalah didorong. Kemudian Pak Malik minta izin untuk mendorong, sedangkan Kiai yang menyupir dari dalam. Namun tawaran tersebut ditolak oleh Kiai, karena ia memilih mendorong mobil dan Pak Malik yang menjadi supir. Pak Malik akhirnya manut. Anehnya, Kiai yang bertubuh kecil itu kuat mendorong mobil sendirian. Ditambah muatan Pak Malik dengan berat 85Kg. Belum lagi kondisi jalan yang menanjak. Akhirnya mobil tersebut dapat berjalan seperti sedia kala.
2. Cerita Dari Kang Bayan
Ketika sedang pendadaran satu, semua santri diwajibkan berzikir. Ketika itu ada sebagian sesepuh dari madiun dan beberapa santri yang sebelumnya sudah ikut pendadaran satu tidak ikut zikir. Salah satu dari mereka berkata,
“Awak dewe wis tau melu pendadaran siji, saiki gak usah terlalu konsen zikir, tapi delengen romo Kiai Djamhari, lak metu mujizate (Kita sudah pernah ikut pendadaran satu, sekarang tidak perlu terlalu konsen zikir, tapi lihat saja Kiai Djamhari pasti keluar karamahnya).”
Dan benar saja. Disaksikan oleh beberapa santri kala itu bahwa Kiai sedang berkeliling mengawasi murid murid yang berzikir. Tiba-tiba Kiai bisa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sekedipan mata. Waktu itu peserta sekitar 3000 orang dari barisan pertama sampai membeludak ke halaman dan teras rumahnya. Tapi semuanya bisa dipantau oleh Kiai secara langsung.
Dan banyak lagi karamah Kiai yang dialami santri-santrinya. Wallahu a’lam bisshawwab
Sumber: Wawancara