Spekulasi Hadirnya Wali Songo bersama Ajaran Tarekat
Para sejarawan Barat menyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Budha menjadi tertarik terhadap Islam. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarekat yang dibawa oleh para wali.
Sayangnya dokumen sejarah Islam sebelum abad ke-17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa cacatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas tarekat di kalangan keluarga istana raja-raja Muslim.
Salah satu referensi keterkaitan Wali Songo dengan dunia tarekat adalah Serat Banten Rante-rante dan sejarah Banten kuno.
Dalam karya sastra yang ditulis diawal berdirinya kesultaanan Banten itu disebutkan, pada fase menimba ilmu, Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syehk Najmuddin Kubra dan Syekh Abul Hasan asy-syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh Ijazah kemursyidan Tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.
Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati dengan yang hidup di abad ke-16 dengan Syekh Abul Hasan asy-Syadzili yang wafat di abad ke-13, apalagi dengan Syekh Abu Najmuddin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, itu tidaklah mungkin.
Namun terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri tarekat dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultaanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.
Selain Sunan Gunung Jati, anggota Wali Songo lain yang lekat dengan tarekat adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang.
Dalam babat Tanah Jawi, Sunan Ampel disebut-sebut mengajarkan Suluk Tarekat Naqsabandiyah. Penyematan bahwa Sunan Ampel menjadi tokoh pembawa Tarekat Naqsabandiyah ini juga disebutkan dalam Kitab Ahla al Musamarah fi Hikayat al Auliya’ al Asyrah tulisan Syekh Abul Fadhol Senori.
Sementara Sunan Bonang, diceritakan dari Carita Sejarah Lasem dan Hikayat Hasanudin, setelah gagal berdakwah di Kediri, karena menggunakan pendekatan fiqih yang cenderung kaku, ia lalu pindah ke Demak dan menjadi Imam Masjid Agung Demak.
Tak lama kemudian ia hijrah ke Lasem, Rembang membangun zawiyyah dan menjalani suluk tarekat. Usai menjalani suluk itulah Sunan Bonang melanjutkan dakwahnya. Adapun pendekatan yang dilakukan, baru-baru ini terbukti dengan beberapa peninggalan Sunan Bonang yang lebih bercorak sufistik dan budaya baik bentuk tembang, dolanan bocah, primbon dan serat-serat.
Wallahu a’lam bisshawwab
Penulis: M. Alvin Noor
Editor: Khoirum Millatin