Lampung, JATMAN Online – KH Miftachul Akhyar selaku Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan bahwa warga NU harus menjadi umat Muslim yang memiliki karakter mandiri. Jika NU bersikap tidak tegas hanya akan menjadi sebagai organisasi yang mudah goyang dan terpecah belah, sehingga rawan dirusak oleh kelompok lain yang tidak sepemahaman.
“Kader NU harus mampu menunjukkan kepribadian dan semangat menuju kebaikan serta menjaga idealisme dan kemandirian dalam bersikap. Ikut-ikutan orang lain dan menjadi latah, hanya akan membuat kita terpecah belah, terombang-ambing dan menjadi bulan-bulanan,” katanya.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Khutbah Iftitah Muktamar Ke-34 NU di Pondok Pesantren Darussa’adah, Gunung Sugih, Lampung Tengah, pada Rabu (22/12) pagi.
Paparannya tersebut ia kutip dari salah satu hadits Nabi yang maknanya, ‘Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan dan latah. Kalian mengatakan, ‘Jika orang-orang berbuat baik, kami juga ikut baik. Dan jika mereka berbuat zalim, kami pun ikut zalim’. Namun, mantapkanlah jiwa kalian; jika masyarakat berbuat baik, kalian tetap melakukan kebaikan, dan jika mereka melakukan kejahatan, maka jangan ikut berbuat zalim.’ (HR At-Tirmidzi)
Kiai Miftach menegaskan bahwa menumbuhkan jiwa persatuan organisasi dalam tubuh para Nahdliyin merupakan tugas paling pokok sebelum tugas-tugas NU lainnya. Sebab, jika persatuan sudah tercipta dengan kokoh, akan menjadi potensi raksasa bagi NU ini.
“Men-jamiyah-kan jamaah dengan segala potensinya yang berkekuatan raksasa ini, menjadi pekerjaan rumah terpenting dari sekian pekerjaan rumah yang lain. Sebab, potensi raksasa ini, kalau tidak dikelola dengan baik dan benar, justru akan menjadi beban dan terpecah belah. Menjadi bulan-bulanan dan diperebutkan oleh kelompok-kelompok lain,” ungkapnya.
Kemudian Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachussunnah, Surabaya itu menjelaskan, Era Revolusi Industri 4.0 dianggap sebagai tanda meningkatnya peradaban kemanusiaan. Untuk menghadapi era ini, bangsa Indonesia dan terkhusus Nahdliyin harus mengimbanginya dengan 4G. 4G tersebut mencakup empat ajaran khas dan konsep besar NU berupa grand idea, grand design, grand strategy, dan grand control. Empat prinsip tersebut merupakan fondasi NU yang telah diajarkan oleh para pendahulu Nahdliyin.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa grand idea merupakan visi dan misi NU sebagai instrumen untuk menyatukan langkah, baik ulama struktural maupun kultural. Terutama para ulama pondok pesantren, agar berada dalam satu langkah dan satu keputusan untuk menggalang kekuatan bersama.
Selanjutnya grand design, yaitu berupa program-program unggulan yang terukur. Berdasarkan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Kiai Miftach menegaskan, setiap awal datangnya kurun 100 tahun, Allah akan mengutus seseorang, dua orang, atau beberapa orang, untuk menyegarkan kembali aturan-aturan yang sudah mulai banyak ditinggalkan.
Mengacu pada hadist tersebut, saat ini NU akan menempuh satu abad atau 100 tahun dari sejak organisasi ini berdiri. Untuk itu, perlu adanya program-program yang selain unggul, juga terukur dengan jelas.
Kemudian grand strategy, yaitu menejemen pengelolaan organisisasi dengan baik. Hal ini bisa dilakukan dengan mengintensifkan penyebaran inovasi yang terencana, terarah dan dikelola dengan baik, serta distribusi kader-kader terbaik NU ke ruang-ruang publik yang tersedia.
“Kader NU saat ini belum berperan maksimal di semua ruang-ruang publik yang ada. Karena itu, perlu ada grand strategy terkait keberperanan kader-kadernya,” tambah Kiai Miftach.
Sementara grand control adalah sistem kontrol yang bisa melahirkan garis komando secara organisatoris dari PBNU sampai kepengurusan di tingkat anak ranting.
“Dari situ (grand control), NU akan menjadi organisasi keagamaan dan sosial yang bergerak secara sistemik, proaktif, dan responsif, serta terus-menerus menebarkan kasih sayang (rahmatan lil alamin). NU akan mampu menebarkan kemaslahatan di dunia sampai akhirat dan bersaing di segala bidang dengan organisasi-organisasi lainnya,” ungkapnya.