Qurban dan Rekonstruksi Jiwa Manusia
Membuang Jiwa Materi
Idul Adha dan Idul Qurban yang dijalankan oleh umat Islam adalah bentuk dari pengingat atas totalitas pengorbanan Nabi Ibrahim as. terhadap Tuhannya. Qurban bermakna kedekatan, dalam hal ini adalah kedekatan diri manusia kepada Allah, Tuhan yang tak terbandingkan dengan apapun. Maka sejatinya Allah tak terbandingkan dengan dunia dan seisinya. Pada sisi yang bersamaan terdapat jiwa yang terpenuhi oleh kecintaan terhadap dunia.
Qurban diimplementasikan melalui penyembelihan hewan qurban, baik unta, sapi (lembu), ataupun kambing-domba. Hewan tersebut merupakan hewan yang sangat bernilai sebagai penggerak ekonomi umat manusia. Dalam kultur masyarakat Jawa hewan di atas khususnya lembu atau sapi disebut sebagai "rojo koyo". Seekor hewan yang diformat sebagai penggerak ekonomi keluarga, sumber penghasilan dan bernilai lebih bagi keluarga pedesaan (Maulana, 2021).
Dengannya seseorang mengolah sawah yang ia miliki, dengannya ia menggerakkan roda perekenomian keluarga dan membangun ekonomi kampungnya. Hukuman atas kejahatan terhadap benda rojo-koyo dalam hukum lebih berat dibandingkan dengan kejahatan terhadap benda lainnya. Mencuri rojo koyo berarti mematikan sumber hidup utama manusia.
Dalam bentuk masyarakat moderen, konsep "rojo koyo" bisa dimaknai sebagai sumber modal utama dari segala hal yang menggerakkan sumber kehidupan materi ekonomi manusia, baik berbentuk kendaraan dan usaha apapun yang dapat dijadikan sebagai modal utama kerja manusia. Rojo koyo adalah penggerak utama dari bekerjanya sebuah sistem kerja dan produksi. Rojo koyo juga dapat diformat sebagai tempat berusaha, tempat manusia bekerja. Sesuatu sumber materi hidup manusia. Rojo koyo inilah yang diqurbankan untuk menekan kecintaan terhadap sistem kerja dunia yang melenakan.
Qurban dalam hal ini bermakna membuang segala jiwa materi dunia. Qurban unta, lembu, dan kambing atau domba adalah simbol kekayaan produksi materi yang harus dibuang dalam hati manusia. Menyembelih hewan qurban bermakna memotong kecintaan manusia atas materi hingga ke sumber utamanya. Hanya Allah selaku Tuhan yang melekat dalam hati dan bukan materi benda apapun yang dijadikan sebagai fokus hidup.
Bahwa hewan qurban adalah simbol produksi penciptaan kekayaan manusia yang itu tak sebanding dengan kecintaan manusia terhadap Tuhannya. Segenap alat materi produksi sebagai sumber kekayaan itu dikurbankan semata untuk Tuhannya, dan kekayaan dunia hakikatnya hanyalah sebagai sarana menuju Allah semata. Untuk itu maka menyembelih hewan qurban menurut al-Ghazali bermakna menyembelih nafsu hewani yang ada dalam jiwa manusia yang menjadi penghalang kedekatan manusia dengan Allah.
Semangat Berkurban demi Tuhan dan Kemanusiaan
Semangat berkurban tersebut kini diterapkan dalam bentuk pengorbanan setiap jiwa untuk sesamanya juga bangsanya atas dasar kecintaannya kepada Allah. Bahwa relasi hablum minallah diaplikasikan dalam membangun relasi antar manusia dalam nilai-nilai yang humanis. Bahwa berqurban adalah totalitas relasi dengan Allah, tetapi disitu juga sekaligus terjalin nilai-nilai humanisme (hablum minnanas). Bahwa benda materi yang dimiliki diarahkan pada kepentingan sesama manusia, bukan untuk dimiliki secara tamak.
Berqurban materi rojo koyo bermakna mengurbankan induk materi untuk kepentingan kemanusiaan atas nama Tuhan. Manusia bukan sebagai subjek pemilik materi melainkan sebagai subjek yang dibebani amanah selaku pendistribusi kemakmuran manusia. Berqurban mengikis jiwa materi yang terkadang memunculkan kabut yang menutup mata hati. Rojo-koyo menjadi sebuah simbol identitas manusia, bukan semata kekayaan, melainkan kekayaan yang terus menerus memberikan nilai tambah dan sumber yang menopang hidup manusia (Purnomo dan Sabardila, 2022).
Totalitas qurban yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim as. juga telah dijalankan semasa Rasulullah Saw hidup. Beliau meninggalkan harta benda bahkan keluarga mereka untuk hijrah ke Yatsrib yang berjarak ratusan kilometer. Mereka mengorbankan segala materi dan kekayaan yang mereka miliki selama menjadi pendudukan Kota Makkah. Harta dan keluarga diganti oleh Allah secara berlipat.
Berqurban bukan sekedar menyembelih hewan qurban, tetapi mengorbankan kecintaan kita yang berlebih terhadap materi dunia. Bahwa manusia adalah makhluk yang tercipta sebagai fenomen kehadiran Allah. Bahwa manusia adalah citra atas kehadiran-Nya. Manusia tidak hadir atas dirinya sendiri melainkan ada karena-Nya. Manusia dari-Nya dan menuju-Nya, maka hakikatnya ia bukan semata makhluk dunia tetapi adalah milik-Nya. Maka cintai Dia dan kurbankan dunia yang berlebih.
Hijrah Rasulullah membuktikan telah bahwa membuang segenap kecintaan duniawi melalui apa yang dimiliki dengan mendekatkan diri kepada Allah telah membuktikan terbentuknya sebuah peradaban baru. Hijrah dimulai dengan semangat mendekatkan diri kepada Allah dan membuang kecintaan atas materi bendawi dunia. Sahabat-sahabat Beliau Saw mengorbankan segala harta benda dan keluarga yang dimilikinya. Allah merekonstruksi para muhajirin ini dalam bentuk yang baru, yaitu masyarakat berperadaban yang kemudian dikenal pula dengan nama masyarakat Madani dengan kotanya Madinah sebagai pengganti nama Yatsrib. Berqurban dengan selalu mendekat pada Allah sekaligus telah melahirkan sebuah semangat baru untuk mencintai dan memahami penderitaan sesama manusia. Qurban menjadi metode rekonstruksi untuk membentuk manusia yang tak mudah terombang-ambing dalam dunia yang semakin mengalienasi manusia.
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orangorang yang muhsin.“ (Qs. Al-Hajj: 37)
Penulis: Fokky Fuad Wasitaatmadja (Associate Professor, Universitas Al Azhar Indonesia)