Kitab al Hikam merupakan karangan Syaikh Ibnu Atha’illah. Ia memiliki nama lengkap Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Kitab ini berisi untaian mutiara yang bisa dijadikan renungan dan pegangan hidup. Dalam kitab al Hikam terdapat untaian mutiara yang pertama yaitu:
مِنْ عَلاَمَاتِ الإِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
Maknanya: “Di antara tanda-tanda seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya adalah bahwa ia kurang harapan (cenderung pesimis) manakala ia mengalami kegagalan atau kesalahan (terpeleset)”.
Sudah sepantasnya bagi orang yang beriman untuk memiliki kesadaran bahwa ia bisa mencapai sesuatu bukan karena usahanya saja tapi atas kehendak Allah. Ketika berusaha, lalu berhasil. Ketika bekerja, lalu sukses. Ketika berdagang, lalu untung. Ketika rajin belajar, lalu pintar. Ketika pedekate, lalu menjadi pasangan. dan seterusnya. Semua hasil tersebut jangan hanya dipandang sebagai usaha pribadinya. Jangan-jangan terdapat faktor X yang tidak diketahui.
Jangan pernah sekali-kali membuat keyakinan di dalam hati bahwa amal ibadah bisa memasukkan ke dalam surga, menyelamatkan dari api neraka, serta menjadi wushul (sampai) kepada Allah. Hal itu tidak bisa. Sebagaimana kisah Qarun yang awalnya ahli ibadah, Qarun merupakan ulama Bani Israil, tetapi saat menghadapi ajal meninggal dalam keadaan Non Muslim. atau kisahnya Sayyidah Aisyah binti Muzahim, walaupun beliau menjadi istri Fir’au, beliau adalah kekasih Allah.
Akhirnya, baik iman ataupun kufur, masuk surga atau masuk neraka, itu semua adalah berkat anugerah dan karunia dari Allah. Ambillah ibarat dari kisah putra Nabi Nuh dan kisah istri Nabi Luth, yang keduanya wafat dalam keadaan kafir.
Jadi, Orang tua tidak bisa menjamin anaknya dan suami tidak bisa menolong istrinya dari siksa Allah. Walaupun keduanya adalah seorang Nabi. Bahkan wajib baginya berpegang teguh kepada Allah bukan kepada yang lainnya.
Manfaat dari sikap semacam ini adalah mengajarkan agar tidak langsung putus asa dan pesimis ketika gagal mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Pelajaran apa saja yang dapat diperoleh dari untaian kata emas Ibn ‘Athaillah ini?
Pertama, mengajarkan untuk tidak merasa paling alim sendiri, pintar sendiri, saleh sendiri, Islami sendiri, karena amalan kita.
Kedua, mengajarkan untuk rendah hati, jangan merasa bahwa usaha kita menentukan segala-galanya.
Sebab perasaan sombong seperti itu yang akan menjerumuskan kepada perasaan mudah pesimis, putus asa dan patah hati. Orang beriman harus optimis terus, pekerja keras, tak peduli apapun yang sedang dihadapinya.
Oleh karena itu usaha sangat penting, tapi bukan segala-galanya. Karena, Allahlah yang menentukan segala-galanya.
Selain itu terdapat 3 poin penting yang dapat dijadikan pedoman hidup yaitu:
1. Banyak hal dan variabel dalam hidup ini yang di luar kontrol. Hanya Tuhan lah yang bisa mengendalikan itu semua. Karena itu, ikhtiar, berdo’a, dan tawakal harus berjalan beriringan.
2. Jangan menganggap bahwa pekerjaan dan amal kita menentukan segala-galanya. Hanya kasih sayang Tuhanlah yang akan menjamin.
3. Ajaran ini hendak mengajari kita “The Ethics of Humanity“, etika rendah hati. Kerendah hati inilah yang membuat kita sehat secara mental.