Mengenal Kang Ayip Muh Cirebon, Guru Habib Luthfi bin Yahya
Al Habib Muhammad bin Syekh bin Abu Bakar bin Yahya, yang kerap di panggil “Kang Ayip Muh” oleh masyarakat Cirebon. Beliau adalah Ulama kharismatik yang sangat disegani oleh warga Cirebon karena dakwahnya yang merangkul semua elemen masyarakat. Beliau juga salah satu guru dari ulama asal Pekalongan yakni Maulana Habib Luthfi bin Yahya

Biografi singkat Kang Ayip Muh, Jagasatru Cirebon
Al Habib Muhammad bin Syekh bin Abu Bakar bin Yahya, yang kerap di panggil “Kang Ayip Muh” oleh masyarakat Cirebon. Beliau adalah Ulama kharismatik yang sangat disegani oleh warga Cirebon karena dakwahnya yang merangkul semua elemen masyarakat. Beliau juga salah satu guru dari ulama asal Pekalongan yakni Maulana Habib Luthfi bin Yahya.
Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, yang di lahir Jumat, 11 Rabiul Awal 1351 H bertepatan dengan 15 Juli 1932 M. Namun seorang sahabat, Habib Abdullah Assegaf, ayah Ustadz Shaleh Assegaf Kebon syarif Cirebon, malah menamainya “Muhammad”, dan Abah Syekh menerimanya. Dalam rujukan kitab nasab Alawiyyin namanya tertera sebagai Muhammad Abdul Qodir.
Suatu hari rumah Habib Alwi, ayah dari Habib Anis Solo, didatangi oleh Habib Syekh Cirebon atau yang dikenal dengan sebutan “Abah Syekh”. Habib Alwi menyapanya dengan hangat, kemudian salah satu santri disuruh menyiapkan jamuan. Entah kenapa para siswa menundukkan kepala sambil membawa dan menyiapkan jamuan. Santri jelas mengenal tamu itu dengan baik dan berharap agar tamu itu tidak mengenalinya.
Usai berbincang santai dan bertukar kabar, Abah Syekh kemudian menjelaskan maksud kedatangannya ingin menjenguk anaknya. Habib Alwi tampak heran karena tidak mengetahui putra Abah Syekh itu bersekolah di sini. Habib Alwi lalu bertanya siapa maksudnya. Abah dengan tenang menjawab: “Dialah yang mencurahkan air.” Itu anakku. Tentu saja Habib Alwi heran, santri yang mengerjakan PR selama hampir dua tahun itu ternyata adalah anak dari Habib Syekh, seorang Ulama besar Cirebon. Walaupun ketika ditanya anak siapa, Santri menjawab bahwa saya adalah anak dari “Abdullah si tukang Air”, jelas Santri tidak mau berbohong dan identitasnya diketahui karena bapaknya dulunya adalah “Abdullah”: “Hamba Allah” sempat berdagang air sambil belajar dan menetap di Mekkah.
Demikianlah kebiasaan Habib Muhammad bin Yahya agar sikapnya disamakan dengan murid-murid lainnya. Setelah latar belakangnya terungkap kemudian ia meminta izin kepada Habib Alwi untuk belajar di tempat lain.
Menyamar adalah kebiasaan dalam mencari ilmu saat masih muda sebagai bentuk pengorbanannya bahkan setelah beliau menjadi ulama terkemuka di Cirebon. Pernah suatu saat Kang Ayip Muh, mengunjungi salah satu cucu keponakannya yang sedang kuliah di Malang. Beliau meminta pada cucunya untuk mengantar keliling desa untuk berkunjung ke Kiai setempat, tanpa ragu dan segan Kang Ayip Muh mendatangi mereka seolah-olah seperti orang biasa yang meminta doa, nasihat, bahkan beliau duduk dengan sangat khidmat mendengarkan petuah dari Kiai yang beliau temui. Dan saat berpamitan, beliau dengan rendah hati mencium tangan sang Kiai berulang kali, begitulah sikap rendah hatinya. Tentunya cucunya bingung melihat kejadian ini, sebelum berangkat ia dipesan untuk tidak berkomentar dan hanya mengantar saja.
Beliau juga sering menggunakan nama samaran ketika masuk rumah sakit di Cirebon ketika sakit, karena tidak ingin merepotkan dan diperlakukan istimewa di sana. Bahkan keluarganya tidak mengetahui tentang hal ini, sehingga tidak jarang beliau “menghilang” beberapa hari, sehingga keluarganya harus mencarinya di setiap rumah sakit.
Ilmu Dunia dan Akhirat
Kang Ayip Muh kecil memang anak yang cerdik sewaktu kecilnya, senang bercanda, dan pandai membuat suasana gembira. Namun beliau lebih mementingkan urusan belajarnya, sehingga beliau terkenal dengan kesukaannya berburu ilmu. Sambil menekuni berguru kepada ayahnya sendiri, beliau awali dengan pendidikan formalnya di MI Persatuan Umat Islam hingga kelas 3, kemudian dilanjutkan ke Jami’iyyah Ta’limiyyah atau Madrasah Darul Hikam sekarang. Selepas dari sana kemudian dilanjutkan mondok ke Kiai Sanusi di Pesantren Babakan Ciwaringin. Selain nyantri beliau juga rajin mendatangi ulama untk menimba ilmu dari mereka. Diantaranya Habib Ahmad bin Ismail bin Yahya Arjawinangun, Kiai Idris Pesantren Kempek, Kiai Ridhwan Pesantren Buntet, Pesantren Benda, dan Pesantren Galagamba.
Saking gemarnya berburu ilmu sampai-sampai ilmu kanuraggan pun beliau pelajari, tidak main-main beliau berguru ke Kiai Tarmidi Kebon Gedang, salah satu Kiai Cirebon yang terkenal ilmu kanuraggan dan kesaktiannya. Namun keahlian yang pernah dipelajari ini tidak pernah beliau tampakkan. Lalu pendidikannya beliau lanjukan ke Jakarta di Jamiat Kheir, lembaga pendidikan terkemuka saat itu, dan beliau juga sempatkan mengaji ke Habib Salim bin Jindan, semua ulama pun beliau datangi untuk sekedar bertabaruk dan meminta ijazah. Setelah di Jakarta beliau melanjutkan mondoknya ke Jawa Tengah tepatnya di Ponpes Kaliwungu asuhan Kiai Ru’yat, sambil melanjutkan pendidikan SLTP di Semarang, kemudian melanjutkan SLTA nya ke Solo dan mukim dan mengaji di Habib Alwi al Habsyi selama dua tahun. Kemudian dilanjutkan ke Ponpes Jamsaren di Solo asuhan Kiai Abu Ammar.
Setelah berkelana di jawa tengah, pemuda yang haus ilmu ini lanjutkan mondoknya di Jawa Timur. Di awali masuk ke Ponpes Darul Hadist dan belajar kepada Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Setiap kali mondok beliau selalu memanfaatkan waktu untuk belajar, dan bukan hanya belajar di Kiai pengasuh pesantren saja, beliau sempat pesankan, “Lamon mondok sing akeh gurune” atau kata lain, kalau belajar harus punya banyak guru. Pendidikan formalnya bahkan berlanjut hingga tingkat akademi jurnalistik, Yogya, tapi setiap kali beliau ditanya mengenai perihal itu, dengan entengnya beliau katakan “semuanya hilang”.
Pada akhirnya beliau kembali ke tanah Cirebon untuk berkhidmat ke Pondok Pesantren Jagasatru, beliau juga menimba ilmu kembali ke sang Ayah, abah Syekh yang telah lama menimba ilmu di tanah suci, tentunya dengan bingkai birrul walidain. Kecintaan akan ilmu tak terhenti sampai di situ bukan hanya pergi ke Kiai sepuh, beliau juga sempatkan menimba ilmu ke teman sejawat beliau, guru sekaligus teman seperjuangan Ustadz Shaleh Assegaf.
Berdakwah dan Bermanfaat
Sejak kecil Kang Ayip Muh senang mengajak teman-temannya untuk mengaji, di waktu yang sama ketikan masa kolonial beliau tidak tega melihat penderitaan, beliau sempatkan memberi bantuan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi. Ya, kedua sifat inilah yang selalu melekat dalam pribadi beliau, pertama, berdakwah, menyampaikan ilmu, dan bertutur bijak kepada masyarakat luas. Kedua, berpikir, berbuat, dan menebar manfaat dengan penuh rasa ikhlas.
Dalam berdakwah semua orang tahu, beliau orang yang tegas. Sampai beliau pernah difitnah dan di bui dan tentunya dengan menerima berbagai deraan. Sampai kaki beliau diikat ke atas sementara kepalanya menggantung ke bawah. Di saat yang sama kepala beliau dihajar dengan dengan batang senapan sampai berdarah, sampai kemudian tali penggantungnya putus, sehingga kepalanya terbentur keras di lantai. Aneh bin ajaib tidak keluar suara apapun dari mulut beliau yang menandakan kesakitan, pas sudah sadar, beliau pun ditanya oleh kawan-kawannya yang juga turut di siksa, “tadi sakit kang..?”. Beliau katakan, “tidak, Alhamdulillah pas saya tadi dipukuli saya tidur pulas, makannya saya tak merasakan apa-apa, emang tadi bagaimana..?” beliau malah tanya balik. Mendengar jawab itu, kawan-kawannya keheranan bukan main.
Konon singkat cerita orang-orang yang dulunya menganiaya beliau, setelah mereka taubat dan pensiun, malah datang ngaji ke beliau, dan diterima dengan baik seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Beliau maafkan dan melupakan kejadian itu dan tak menceritakan ke orang lain sewaktu beliau hidup. Pola pikirnya selalu dilandaskan dengan prasangka baik, membuat ulama yang berjiwa besar ini menjadi panutan yang menghargai perbedaan dan tak suka menyalahkan upaya dakwah pihak lain. Bahkan kepada pemabuk pun beliau masih berakhlak, beliau awalnya mengingatkan kalau mabuk yang teratur jangan di sudut jalan, jangan meminta paksa ke jamaah yang berkunjung, sampai beliau pun sempatkan memberi uang ke mereka, “nih untuk kalian”.
Dengan kemuliaan hati, banyak diantara mereka yang sadar dan kembali ke jalan yang benar. Pesan beliau “Orangnya jangan dibenci tapi becilah perbuatannya, setiap kondisi harus dipilah berdasarkan kondisi dan porsinya”. Jangan heran waktu itu di Tahun 2003 Cirebon bergejolak Kang Ayip Muh, langsung turun memimpin ribuan warga dan santrinya untuk mendesak pemerintah setempat untuk mengesahkan RUU Anti Miras dan Perjudian, akhirnya Alhamdulillah tuntutan itu dipenuhi.
Waktu Padat Demi Umat
Sehari-hari Kang Ayip hampir tidak punya waktu luang untuk urusan pribadi, maklum karena banyak warga Cirebon dan sekitar nya berebut meminta beliau ceramah, menikahkan, atau hanya sekedar hadir di acara tertentu. Sebelum azan subuh, sudah ada tamu yang menjemputnya, pulang saat menjelang dhuhur, siangnya ada yang menjemput lagi, setelah rehat sebentar beliau lanjutkan sholat ashar, setelahnya mengajari santrinya, setelah itu sudah banyak tamu yang menunggu di beranda pesantren untuk bersilaturahim, beliau buang jauh rasa penat dan lelah, dengan selalu ceria di hadapan para tamu, antara maghrib dan isya beliau mengajar santrinya kembali, setelah sholat isya lagi-lagi sudah ada yang menjemputnya di teras rumah. Seringkali jarak yang ditempuh sangat jauh, sampai beliau sering pulang larut malam, tak sempat bertukar baju beliau sudah terlanjur tidur.
Hari-hari Kang Ayip bukan hanya sibuk, tapi berkah, bayangkan selain mengurusi pesantren, menjadi Ketua MUI kodya Cirebon selama dua periode, sudah hampir semua tamu bisa mengambil berkah, bertemu dengan beliau. Namun dibalik kacamata beliau, terlihat mata yang agak merah berair seperti ada masalah besar yang beliau pikirkan atau rasakan, namun beliau pendam dalam-dalam. Sesekali air matanya tertetes ketika mengajar, membuat uraiannya terhenti sejenak. Di luar itu, bukan hanya sesekali orang mendapati beliau menangis di keheningan malam ditempat yang sunyi, sendirian. Di belakang rumah, di balik pepohonan, di pinggir sungai dekat pesantren, dan di tempat lainnya. Bahkan malam sebelum Tsunami di Aceh, seorang muridnya mendapati beliau tengah menangis seorang diri, di sisi pantai Pulau Jawa yang sepi. Ketika ditanya, beliau justru minta untuk jangan dilanjutkan pertanyaan itu, dan diminta untuk meniggalkan dirinya. Esoknya, entah ada hubungannya atau tidak, terjadilah bencana Tsunami terbesar yang memilukan itu.
Serba Indah dan Payung Kota Cirebon
Potret kehidupan Kang Ayip adalah cerminan akhlakul karimah dan contoh yang baik, dibalut kesederhanaan dan ketawadhuan, banyak orang dekat yang mendengar langsung kisah beliau, tapi meminta untuk tidak disebarkan, kecuali sudah wafat. Rupanya beliau ingin orang lain bisa memetik hikmah dari kisahnya, namun risih jika orang lain menganggapnya lebih. Jarang beliau mengenakan imamah layaknya yang seperti kita lihat, kecuali di saat beliau mengisi majelis Ahad Pagi, Kajian Tafsir Jalalain. Beliau selalu tampil bersahaja, zuhud dan wara’ dalam urusan dunia, ucapannya selalu ditunggu orang, dalam berbagai kesempatan, ketika mengajar, ceramah, diskusi berat dan lain sebagainya, kata-kata beliau selalu melekat di pribadi masing-masing yang mendengarkannya, bahkan bercanda nya pun sarat makna, jika disimak dengan baik. Pernah di waktu santai bersama keluarga, beliau minta dipijat, di sela obrolannya beliau pesankan “Saya malu orang lain saya ajari tapi anak sendiri tidak”. Rumah beliau tak pernah sepi dari tamu, bahkan dari luar negeri, semua kalangan nusantara. Ada sisi lain dari Kang Ayip, beliau selalu fasih berbahasa tergantung tamu yang datang, arab, sunda, jawa, melayu, bahkan inggris. Beliau juga tidak segan duduk ngobrol ngopi bersama tukan becak, buruh kasar, tukang sayur, dan lainnya, cara beliau berinteraksi sangat memukau di semua kalangan sampai yang mereka rasakan adalah dirinya teramat diperhatikan dan dekat dengan Kang Ayip.
Meski tak berminat di bidang politik, tapi beliau tak menjauhi mereka, beliau menerima kalau mereka sowan ke kediaman beliau dengan baik. Di mata Kang Ayip semuanya semata lahan dakwah, tak ada yang lain, ia sangat menghargai perbedaan, sampai jika ada pihak yang berselisih paham, bertikai dan sebagainya pertemuan itu harus diadakan di Jagasatru, kediaman beliau. Sempat terjadi konflik di area keraton Cirebon, dan Kang Ayip lah yang membantu menjadi penengahnya, kharismanya begitu kuat, sampai akhirnya mereka sepakat untuk Islah, berdamai. Begitu banyak sifat dan kepribadian beliau jika kita ungkap atau tulis semuanya, menggambarkan beliau secara total mengikuti datuknya Sayyidina Muhammad Saw, total dalam berdakwah dan maslahat bagi umat.
Kisah Kesaktian Ijazah Kiai Hamid Pasuruan Dibuktikan Kang Ayip Muh Jagasataru Cirebon
Malam-malam Kiai Hamid Pasuruan bertamu kerumah Kang Ayip Muh Jagasatru Cirebon.
“Yip, lagi punya hajat apa?” Kiai Hamid membuka obrolan.
“Saya lagi membangun masjid pesantren, Kiai”
“Sampean minta uang atau doa, Yip?”
“Doa saja, Kiai”
“Sampean putari tanah yang hendak dibangun masjid sambil baca Shalluu Ala Muhammad”
“Dhomir Sholluu ditunjukkan kesiapa, Kiai?” Tanya Kang Ayip.
“Sudahlah baca saja…”
Pagi sehabis subuh Kang Ayip langsung mengamalkan ijazah dari Kiai Hamid. Ia memutari pondasi bangunan sambil merapal Shalawat pemberian Kiai yang dikenal khariqul adah itu.
Tiga hari berikutnya datang seorang bermata sipit menghampiri Kang Ayip yang sedang duduk-duduk mengawasi tukang bangunan.
“Lagi bangun tempat sembahyang, Kang Ayip?”
“Ya, betul, jawab Kang Ayip singkat.
Obrolan berlanjut pada tema yang lain.
Kang Ayip Muh dikenal sebagai ulama semua umat, lintas etnis dan lintas agama. Habib yang Jawa ini (pakaian sehari-hari kopyah dan sarung, fasih bahasa Jawa dan Sunda dan tidak pakai antum-antuman) kerap dimintai nasehat, bimbingan, juga wejangan oleh setiap tamu yang sowan kerumahnya. Semua ulama dan Kiai, khususnya di Wilayah Tiga Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka menaruh hormat dan ta’dhim pada beliau, karena disamping seorang Habib beliau alim allamah juga tawaduk.
Seminggu berikutnya Kang Ayip kaget ada sebuah truk besar sedang membongkar muatan besi bangunan persis disamping pondasi bangunan Masjid.
“Besi ini milik siapa?” tanya Kang Ayip pada sopir truk.
“Saya disuruh majikan untuk mengantarkan besi kealamat ini Kiai, jawab sopir sambil menunjukkan kwitansi toko bangunan kepada Kang Ayip.
Kiai Hamid dan Kang Ayip adalah dua ulama patok bumi tanah Jawa:
Jawa Barat dan Jawa Timur. Dua-duanya dikenal Awliya Allah (kekasih Allah) yang masyhur baik dibumi maupun dilangit.
Wafat Ketika Duduk Tahiyyat, Lautan Manusia Mengantarkan Beliau
Beberapa tahun terakhir dalam kehidupan Kang Ayip, keluarga sebenarnya sudah mengetahui bahwa beliau mengidap penyakit dalam, namun mereka sepakat untuk tidak mencemaskan di hadapan beliau, selanjutnya perjalanan hidup beliau di dunia ini terhenti, Selasa menjelang Maghrib 26 Desember 2006 tepat di tanggal peristiwa Tsunami, Jagat Cirebon seakan kelabu dan bergetar, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi Ta’lim seperti biasa, siang nya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu.
Saat berbincang dengan tamu di bangku teras rumahnya, beliau izin pamit sebentar untuk menunaikan sholat ashar, mereka paham kalau sedang sholat memakan waktu yang lama, namun kala itu lain dari biasanya, hingga salah seorang menantunya masuk ke kamar beliau untuk membawakan teh hangat ke beliau. Namun di saat itulah didapati tubuh Kang Ayip sudah tak bergerak sama sekali. Beliau wafat dengan posisi duduk tahiyyat akhir dengan telunjuk masih menghadap ke Ka’bah. Pertanda seorang hamba yang total dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Ta’ala. Allah juga yang menetapkan waktu istirahat panjangnya kepada Kang Ayip setelah sekian lama berjuang di jalan-Nya. Sejenak kemudian Ponpes Jagasatru berubah menjadi lautan manusia, setelah dimandikan dan di salati sekitar jam 21.00 WIB, ribuan pentakziyah silih berganti mensalati beliau sampai pagi harinya.
Rabu siang iringan manusia mengantarkan beliau seperti lautan manusia, belum lagi warga yang berdiri di sepanjang jalan penuh dengan kesedihan, meneteslah air mata dengan tanpa sengaja, mengingat kemuliaan beliau sewaktu hidupnya. Ini sama dengan kejadian dulu waktu wafatnya Abah Syekh, hampir sama. Sesuai dengan pepatah “Ma fil aba fil abna” seperti halnya seorang ayah, demikian pula anaknya. Suasana pemakaman di Jabang Bayi Cirebon tidak jauh berbeda, sejak pagi ribuan jamaah mendatangi lokasi itu, mereka tak sabar untuk mengantar Kang Ayip untuk terakhir kalinya, semua elemen bangsa turut hadir, dan mengamankan prosesi pemakaman. Pagi itu Cirebon menangis, mentari seolah tak berani menampakkan keceriaannya, hilang sudah sosok yang selalu memperhatikan umat, membimbing dan meneladani setiap akhlakul karimah. Sesuai amanah beliau, Kang Ayip dimakamkan di samping makam Abahnya, seperti yang kita ketahui pemakaman Jabang Bayi adalah pemakaman umum, beliau di akhir hayatnya pun ingin selalu dekat dengan rakyat biasa ia cintai, tanda kesejukan dan kesederhanaan begitu juga makam beliau, layaknya makam orang biasa, inilah Totalitas Seorang Hamba.
Sumber: Majalah Al-Kisah Edisi 7-20 Maret 2011.