Mengenal Abu Yazid al Bustami dan Maqam Ruhaninya

September 20, 2023
Mengenal Abu Yazid al Bustami dan Maqam Ruhaninya

Abu Yazid al Bustami lahir di Bustam bagian timut laut Persia pada 874-947 M. Dalam kajian tasawuf, ialah tokoh yang pertama kali memperkenalkan fana’ baqa’ dan ittihad.

Dalam kitab Misykatul Anwar, Imam Ghazali menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Yazid al Bustami, secara pengalaman adalah benar. Namun ia salah dalam mengungkapkan. Adapun Imam Ghazali pernah menyandang gelar Quthbul Auliya’ Quthbul Quthub sehingga penilaiannya pasti jernih.

Perihal Abu Yazid al Bustami, para ulama mengatakan, “Tidak meninggal Abu Yazid kecuali semua isi Al Quran ia praktikkan.”

Jika Abu Yazid tidak bisa mempraktikkan apa yang ada dalam al-Quran, maka ia berhenti mengaji. Karena itu, ketika ia sampai pada Surat Luqman ayat 14, yang berbunyi,

أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ = “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu”

Ia berhenti karena bingung. Bagaimana bisa bersyukur kepada Allah Swt. sekaligus pada orang tua. Karena waktu itu cuma satu. Ketika taat kepada Allah Swt., maka orangtuanya akan terlantar. Begitupun sebaliknya, jika taat pada orangtua, maka Allah Swt. akan terlantar.

Maka dari itu, ia meminta ridha kepada orangtuanya untuk dibebaskan kewajiban taat kepada orangtua dan memilih menyepurnakan taat kepada Allah Swt., kemudian permohonannya dikabulkan. Ia dibebaskan oleh orangtuanya dari kewajiban itu. Lalu ia dikaruniai kasyaf bertemu dengan Imam Ja’far shadiq bi ar-ruh serta dibimbing olehnya. Sehingga, dalam mencapai kehadirat Allah Swt., ia tidak berjalan sendiri. Melainkan melalui gurunya, Imam Ja’far Shadiq. Adapun semua orang yang kasyaf dan guru-guru tarekat meyakini hal itu.

Abu Yazid bergelar Sulthanul Arifin. Ketika ia mengatakan,

سبحاني سبحاني، ما أعظم شاني = “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Betapa Besarnya Aku”

لا إله إلا أنا فاعبدوني = “Tiada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah Aku”

Sesungguhnya ia dalam keadaan syathahat. Tapi kemudian semua muridnya ia berikan pisau sebagai ancaman, apabila ia berkata demikian lagi agar ia ditusuk. Namun ketika ia mengatakannya lagi dan sebagaimana perintah untuk menusuk tubuhnya, mendadak tubuhnya membesar hingga membuat muridnya keluar dari ruangan itu, kemudian mengecil seperti burung gereja. Itu pula yang menyebabkan ia memeperoleh gelar “Thoifur”. Itulah karamah beliau.

Abu Yazid adalah orang yang sangat ketat syariat. Ia sendiri yang mengatakan, “Jika kamu melihat seseorang yang diberi kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana ia melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama dan bagaimana ia melaksanakan syariat agama.”

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Abu Yazid adalah tokoh yang memperkenalkan fana’ . Kondisi tersebut diperolehnya ketika ia tengah khusyu’. Dimana menurut para wali ia sedang berada dalam kondisi al ghaibah an ghairiyah bi wujudil wahdaniyah. Maka, ketika orang itu sudah ghaib dari selain Allah Swt. dan ketika hatinya hanya Allah Swt. saja, orang itu sebetulnya telah hadhir bi hadhrah ilahiyah.

Syekh Abdul Qadir al Jilani dalam Futuhul Ghaib menjelaskan, jika sudah masuk dalam al ghaibah al ghairiyah, sementara Allah Swt. belum menyingkap Jamaliyah-Nya, maka tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menjaga adab dengan sempurna. Jangan meminta dibukakan hijab dan jangan berani masuk sendiri ke hadhrah ilahiyah karena itu termasuk su’ul adab. Sebagaimana orang yang memasuki rumah tanpa izin pemiliknya, itu akan bermasalah. Tunggulah, sampai Allah Swt. sendiri yang memasukkan ke hadhrah ilahiyah-Nya.

Ketika sudah dipersilakan oleh Allah Swt. maka orang tersebut akan mengalami fana’. Tidak sadar pada hal lain selain kehadirat Allah Swt. Pada kondisi tersebut, orang itu masih sadar jika dirinya sedang tidak sadar. Namun jika ini diteruskan, ia akan masuk dalam kondisi dimana ia tidak sadar jika dirinya tidak sadar, kecuali hanya sadar kepada Allah Swt. Maqam inilah disebut fana’ul fana. Jika sudah demikian, ditanyai apa saja maka jawabannya selalu “Allah”. Karena ia sudah tidak sadar dengan sendirinya.

Kondisi seperti inilah yang sesungghnya dialami oleh Abu yazid ketika ia mengatakan,

سبحاني سبحاني، ما أعظم شاني

Maka lafaz “ني” pada hakikatnya tertuju pada Allah Swt. Sedangkan ke-dirian-nya sudah sirna. Kondisi Abu Yazid yang sudah tidak menyadari keberadaannya sendiri oleh Al Ghazali sama sekali tidak disalahkan. Yang salah adalah ketika ia menceritakan kondisi tersebut. Menurutnya, jika masih pada ilmu muamalah seperti mujahadah, riyadhah, itu boleh saja diceritakan. Tapi kalau sudah makrifat, apapun bahasanya pasti akan menjadi fitnah. Bagaimana mungkin bahasa yang terbatas bisa menggambarkan Allah Swt. yang tidak terbatas. Karena itu, ulama ahussunnah wal jamaah memilih tasawuf akhlaki dan tidak menampilkan tasawuf falsafi dengan berpedoman pada Imam Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.

Lain halnya dengan Rasulullah Saw. Tidak akan ada yang sanggup memanage ruhani dengan varietas pengalaman batin yang dahsyat dalam satu tubuh selain Rasulullah Saw. Tidak ada yang makrifatnya lebih sempurna dari Rasulullah Saw., tetapi tidak ada syathahat yang keluar sampai menimbulkan fitnah.

Syathahat ibarat seseorang yang sedang jatuh cinta. Yang merasakan kondisi itu, baik tubuh dan lisannya tidak akan bisa diam. Ada kalanya diekspresikan melalui lagu, puisi, nyanyian dengan memunculkan bayangan yang dicintai. Kemudian orang itu membagi perjalanan cintanya kepada orang lain sejak pertama bertemu, berkenalan sampai menikah. Namun ungkapan ini sudah tidak bisa lagi diekspresikan ketika kondisi pasca menikah. Cintanya bukan lagi sebuah ungkapan, melainkan sudah menyatu dalam kamar. Seindah apapun kondisi tersebut, haram diceritakan. Begitu pula makrifat ilallah, ini adalah bagian intim yang tidak bisa diceritakan kepada siapapun yang dalam istilah tasawuf disebut ittihad.

*Tulisan di atas berdasarkan penjelasan Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag. (Pengasuh Majelis al-Dzikir wa al-Ta lim Mihrab al-Muhibbin).

Editor: Khoirum Millatin