Pelajaran 1: Selain itu juga beliau mengharapkan keberkahan-keberkahan dari guru-guru Sufi khususnya Syaikh Nazim dan juga Syaikh Muhammad Hisyam. Lalu dikatakan bahwa hadis-hadis ini dikumpulkan oleh Syaikh Al-Hakim Al-Tirmidzi, yang mana beliau berasal dari Asia Tengah, yang juga beliau memohon kepada kita semua untuk membacakan Al-Fatihah kepada Sayyidina Muhammad Saw, beserta dengan keluarganya, dan juga kepada para Masyaikh, begitu juga kepada Syaikh Nazim dan Syaikh Hisyam.
Syaikh Gibril, beliau juga menyampaikan bahwa jalur dari periwayatan kitab Nawadirul Usul ini beliau dapatkan daripada seorang ulama Syam yang bernama Syaikh Salim Habami di kota Damaskus. Beliau mengatakan, bahwasannya beliau mengambil riwayat-riwayat ini dari Syaikh Salim Habami, yang beliau ambil dari Muhaddis Syam yang terkenal dengan nama Syaikh Badruddin Al Hasani, Syaikh Badruddin Al Hasani kemudian mengambil dari Syaikh Salim Al-Khawatib, lalu Syaikh Salim Al-Khawatib mengambil dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Atsqolani, lalu Syaikh Ibnu Hajar Al-Atsqolani mengambil hingga sampai kepada sang Muallif kitab yaitu Syaikh Al-Hakim Al-Tirmidzi.
Syaikh Gibril Fouad Haddad memulai kajian ini dengan menyampaikan dasar pertama yang di bicarakan dalam kitab ini, yaitu BAB “Meminta Pertolongan dan Perlindungan Kepada Allah”. Yaitu mengenai kalimat “Istiadzah” (ta’awwudz) yang memuat pertolongan.
Pada hadis yang pertama, dikatakan seseorang datang kepada Rasulullah Saw, dan bertanya kepada Rasulullah Saw;
“Yaa Rasulullah, aku tidak bisa tidur”
Lalu di jawab oleh Rasulullah Saw,
“Mengapa demikian? Ada apa yang terjadi?
Sahabat mengatakan bahwa kalajengking telah menyengat orang tersebut. Lalu Rasulullah Saw bersabda,
“Maka bacalah sebelum tidur,
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan ciptaan-Nya,”
maka dengan membaca do’a tersebut, tidak ada hal yang akan membahayakan dirinya”
Hadits yang kedua, Shaykh Gibril menerangkan bahwa hadis yang di utarakan adalah serupa dengan hadis yang sebelumnya namun ada penambahan dari penekanan dalam satu kalimat. Dikatakan, sebelum engkau tertidur bacalah “A‘ūdzu bi kalimātillāhit tāmmāti min syarri mā khalaq”. Didalam kalimat tersebut ada penambahan huruf alif, maknanya adalah keutamaan daripada kalimat tersebut. Dikatakan aku berlindung kepada Allah dari jahatnya Syaitan yang Kau telah ciptakan. Apabila kita membaca itu, kita akan terjaga hingga pagi hari.
Pada hadis yang ketiga (hadis yang serupa) dialami oleh seorang sahabiyat yaitu sahabat wanita yang bernama Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah, dikatakan aku mendengan Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang berhenti untuk bermalam di suatu tempat (Syaikh Gibril memperjelas hadis ini dengan mengatakan dimana saja baik itu di hotel, dirumah kerabat atau di rumah saudara) maka memohonlah perlindungan kepada Allah dengan mengucapkan ‘A’udzubikalimatillahittaammati min syarri maa khalaq (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang Maha Sempurna dari segala macam kejahatan yang terjadi), niscaya dia terhindar dari segala bahaya yang mengancam, sampai dia berangkat dari tempat itu.”
Hadis keempat yaitu dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. Rasulullah Saw bersabda bahwa Barangsiapa yang terbangun lalu terjaga di malam hari (terkejut lalu berprasangka takut) maka memohonlah perlingdungan kepada Allah (sebagaimana redaksi hadis sebelumnya) namun ada perubahan di akhir do’anya, yaitu dengan berkata “aku berlindung daripada amarah, daripada siksa dan daripada sentuhan Syaitan”. Jika seorang anak sudah bisa membacanya dengan baik maka bisa langsung membacanya. Namun jika anak tersebut belum bisa membacanya, maka tulislah bacaan tersebut di secarik kertas lalu ikatlah kepada leher anak tersebut.
Pada hadis yang ke lima dari Ibnu Abbas ra. Dikatakan bahwa Rasulullah mendoakan Hasan dan Husain, dia mengatakan bahwa “aku menaruh perlindungan (do’a) untuk Hasan dan Husain, aku memohon pertolongan kepada Allah (pertolongan yang sempurna dari Allah, dari semua Syaitan, daripada hewan, dan daripada mata Syaitan yang mengganggu) dan itupun adalah hal serupa yang dilakukan oleh ayahku Ibrahim As terhadap puteranya Ismail As.”
Al Hakim At-Tirmidzi menjelaskan bahwa dalam kalimat “A‘ūdzu bi kalimātillāhit tāmmāti min syarri mā khalaq” apabila di baca kalimat pertama dengan sempurna dan ataupun juga di baca dalam bentuk jamak, maka seperti apa yang di Firmankan oleh Allah di dalam al-Qur’an,
إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْــًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
Artinya: “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (Quran 36:82)
“Dikatakan “كُن”. Kun bermakna terjadi seperti كُن فَيَكُونُ maka akan terjadi, dan benar-benar pasti akan terjadi. Ketika suatu masalah sudah diputuskan akan kejadiannya terjadi, maka akan terjadi.
Syakh Al-Hakim At-Tirmidzi menjelaskan kata-kata “كُن” yang ada di dalam al-Qur’an itu menjadi kalimat (kata) yang sempurna, karena sebenarnya di dalam kaidah-kaidah bahasa Arab, sebuah kata akan menjadi sempurna jika terdiri dari 3 huruf. Namun kata “Kun” itu hanya memiliki dua huruf, dan itu menjadi sempurna. Syaikh Gibril juga memberikan contoh lain, berupa kata يد “yadun”. Kata yadun berarti tangan yang terdiri dari dua huruf yaitu ي “ya” dan د “dal” begitu pula dengan دم “damun” berarti darah yang terdiri dari د “dal” dan م “mim”. Dan juga kata غد “Gadun” berarti besok yang terdiri dari غ “Ghin” dan د “dal”. Semua kata-kata tersebut jika di ucapkan oleh manusia tentunya bukan menjadi kata-kata yang sempurna, karena tidak terdiri daripada tiga suku kata. Lainhalnya dengan kata “Kun”. Kata “Kun” yang mengucapkan adalah Allah Swt di dalam Al-Qur’an. Kata “Kun” menjadi kalimat yang sempurna karena Allah Swt yang tanpa organ dan juga adalah Tuhan Yang Menciptakan Segalanya, maka ini menjadi kalimat yang sempurna. Apapun yang datang daripada Allah, yaitu Al-Qur’an, menjadi komplit dan sempurna. Apa yang disampaikan-Nya didalam Al-Qur’an adalah suci dan sempurna. Apapun yang telah terjadi (yang dikatakan oleh Allah) tidak ada yang bisa berlepas daripada itu dan juga tidak ada yang bisa mengulurkan waktu kedatangannya, semua akan terus terjadi.
Shaykh Gibril menjelaskan kepada kita, ketika kalimat digunakan dalam bentuk plular (jamak) tetap akan menjadi ketetapan yang nyata. Lalu beliau mengutip daripada hadis Qudsi yang berbunyi “Sesungguhnya pemberian-Ku adalah kata-kata, dan hukuman-Ku juga adalah kata-kata.” maksudnya adalah perkataan “Kun”. Hadis Qudsi ini di riwayatkan oleh Ahmad dan Tirmdzi. Selanjutnya Syaikh Gibril menjelaskan apa yang dikatakan oleh Al-Hakim At-Tirmidzi mengenai kata “Kun” yang terdiri dari ك “kaf” dan ن “nun”, kata “kaf” berasal dari “kainuna” yang berarti keberadaan Allah Swt dan kata “nun” adalah daripada cahaya Allah Swt. Allah telah memilikinya untuk eksistensi keberadaan-Nya serta untuk makhluknya. Jika seorang hamba berlindung dengan menggunakan kalimat ini, maka perlindungannya akan menjadi perlindungan yang sempurna. Kita akan terlindungi. Lalu beliau mengatakan pula bahwa ini adalah suatu hal yang utama ketika antara muslim dan non muslim (yang tidak eksis) kecuali semua telah ditentukan oleh Allah Swt Qada dan Qadarnya.
Ketika seorang hamba Allah menggunakan kata tersebut, maka hatinyapun akan tercetus untuk mengikuti kata tersebut. Umpamanya di dalam kehidupan, ketika manusia melihat sesuatu, ia akan terpesona atau ia akan merasa ketakutan. Ketika kehendak Allah Swt terjadi, maka semua serta merta mengikuti kehendak Allah. Hatinya, telinganya, matanya pun mengikuti kalimat tersebut.
Ketika kita berkata “A‘ūdzu bi kalimātillāhit tāmmāti min syarri mā khalaq” maka kita akan diberi perlindungan oleh Allah Swt daripada hal-hal yang berbahaya. Maka seorang hamba ketika membacakan kalimat tersebut, pada dasarnya dia akan memasuki sebuah benteng yang sangat kokoh, yaitu benteng perlindungannya Allah Swt. Ibaratnya ketika kita masuk kedalam rumah, dimana kita bisa duduk dengan baik, dan minum kopi disitu. Artinya kita merasa tenang dan nyaman di dalamnya. Itulah perlindungan daripada Allah Swt. Dengan ketakwaan yang kita miliki, dengan kesadaran atas apa yang kita ucapkan, maka ketika kita mengucapkan kalimat tersebut dan tidak ada kelalaian di dalam diri kita, maka kita akan mendapatkan realisasinya dan keyakinan kepada Allah bahwa kita mendapatkan perlindungan daripada Allah Swt. Begitu pula dengan jiwa dan akal pikiran kita, semuanya merasakan kedamaian ketika kita mengucapkan kalimat itu dengan baik dan benar, hati kita akan merasakan kenyamanan. Namun jika kita mengucapkan kalimat tersebut dalam keadaaan lalai, tetap saja kita akan mendapatkan manfaat dan perlindungan daripada Allah Swt karena keagungan Allah Swt.
Syaikh Gibril mengatakan bahwa yang dikatakan sebagai “ahlul gaflah” adalah kita semua, yang dimaksud dengan “ahlul gaflah” dalam bahasa Indonesia adalah orang-orang yang dalam keadaan lalai, itulah kita semua. Wa;aupun begitu, ketika kita yakin bahwa kita ini memang lalai, kita tetap harus berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi lebih baik, (orang-orang yang seperti itu adalah orang-orang yang seperti aku). Hamba Allah yang berkata “A‘ūdzu bi kalimātillāhit tāmmāti min syarri mā khalaq”, walaupun dia lalai, dan hatinya tidak mengerti, tetapi tetap mendapatkan perlindungan daripada Allah Swt, seperti halnya juga ketika Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa jika seorang hamba berkata حَسْبِيَ اللَّهُ (cukuplah Allah bagiku) sebanyak tujuh kali kepada Allah, maka dengan Allah (Demi Keagungan dan Keperkasaan-Nya), akan aku berikan mereka bukti baik itu mereka dalam keadaan lurus maupun berbohong. Ketika mengatakan kalimat “Hasbiallah” itu maka mereka tetap mendapatkan perlindungan karena mereka adalah orang-orang yang yakin kepada Allah Swt. Walaupun kita memiliki kelemahan, memiliki dosa, namun keyakinan kita kepada Allah Swt ini memberikan jalan bagi kita untuk terus mendapatkan perlindungan. Percaya kepada Allah, berkeyakinan kepada Allah ibarat seperti Imam Ahmad bin Hanbal, walaupun ia kehilangan uang receh atau sesuatu di rumahnya, namun ia tetap merasakan bahagia, karena yang ia yakini (yang ia percaya) Allah Swt, ia bergantung kepada Allah Swt.
Selanjutnya Shaykh Gibril menceritakan kisah Sayyidina Ibrahim As yang dilempar kepada api yang menyala-nyala, ketika pada saat itu ada satu lembah yang begitu luas, disana apinya begitu menyala-nyala, dan Nabiyullah Ibrahim di simpan diatas bukit dengan tangan terikat juga baju yang sudah terbuka, lalu dalam keadaan seperti itu, beliau sudah siap dilemparkan kedalam api. Apapun yang terjadi pada saat itu, para malaikat bersedih hati, dunia bersedih hati, semuanya merasakan sedih, menangis, melihat kejadian tersebut, para Awliya pun juga begitu. Lalu, tiba-tiba datanglah sayyidina Jibril As di atas udara, dia datang dan mendekat kepada Sayyidina Ibrahim, kemudian menawarkan pertolongan “engkau butuh pertolongan Sayyidina Ibrahim?”, namun jawaban daripada Nabi Ibrahim sungguh mengejutkan hati kita bahwa apa yang beliau katakan “Saya tidak membutuhkan pertolongan engkau, namun Hasbiallahu… Cukuplah Allah Swt sebagai penolong bagiku.” lalu dia merasakan bahwa apa yang dibawakan oleh Sayyidina Jibril ini (tawaran pertolongan), bukannya menjadi pertolongan, baginya ini adalah sebuah “imtihan” atau ujian bagi seorang Nabi. Ketika ditawarkan pertolongan daripada malaikat Jibril, yang dia inginkan hanya Allah. Bagi dia “Hasbiallah”, cukuplah Allah. Lalu Allah menetapkan untuk Sayyidina Ibrahim mendapatkan kesejukan, maka Allah mengatakan kepada api untuk menjadi sejuk lalu menjadi sejuklah api tersebut.
Imam At-Tirmidzi menjelaskan kembali mengenai ujian yang dilalui oleh orang-orang yang beriman, dan Nabi Ibrahim memberikan contoh bagaimana dengan pengucapan “Hasbiallah” yang penuh dengan kejujuran dari hatinya, dan dia termasuk orang-orang yang benar (shiddiq), maka hasbunallah yang dia baca tersebut adalah Hasbunallah yang dibaca oleh orang-orang yang lurus, orang-orang yang memiliki keyakina didalam hatinya, dan ketika beliau mengucapkan hasbunallah pada saat itu, beliau tidak memiliki yang lainnya, tidak memiliki keduniawian, tidak memiliki pertolongan daripada malaikat, maka perkataan “Hasbiallah” yang shiddiq, membuatnya menjadi “Khalilullah” atau kekasih Allah. Dan beliau akan menjadi orang yang pertama kali memakai pakaian nanti di hari akhir diantara deretan para Nabi-Nabi dan juga para kaum muslimin, dia akan menjadi orang pertama yang memakai pakaian, karena ketulusannya dalam ujian dan mengatakan “Hasbiallah”. Dialah yang dikatakan sebagai orang-orang Ahlul Yaqin, yang mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki hati yang berkecamuk? Bercampur aduk antara mengakui sebagai seorang muslim, namun perilakunya masih condong kepada keduniaan (mengikuti keinginan-keinginan, mengikuti properti-properti atau hal-hal yang membawa mereka kepada fitnah)?, maka dalam mengikuti Sayyidina Ibrahim harus memiliki keimanan yang sempurna, sungguh-sungguh, dan berkata “Hasbiallah” dengan keimanan, maka mereka menjadi orang-orang yang ikhlas, yang sungguh-sungguh. Namun, orang Islam yang hatinya masih berkecamuk, masih bercampur aduk, mereka tetap menjadi orang-orang yang beriman, tetapi mereka bukan dari kalangan orang-orang Ahlul Muhaqqiq, yaitu orang-orang beriman dengan kesungguh-sungguhan yang lebih kuat. Sebagai penutup, dikatakan Syaikh Al Hakim dari kalangan Hanafi, menyamakan antara Iman dengan Islam, maka yang dikatakan mukmin adalah orang-orang yang Ahlul Yaqin.
Mengulang kembali pembahasan pada pertemuan ini, bahwa ada dua tahapan (dua level) yang dimiliki oleh manusia. Pertama, adalah mereka yang dekat dengan Allah, yakin, menunggu, dan selalu melihat dengan perintah (ketentuan) Allah Swt. Mereka termasuk orang-orang yang berserah diri kepada Allah Swt. Namun ada pula orang-orang yang pada umumnya mata dan telinga ini melihat serta mendengar buka karena Allah, namun demi kepada sebab musababnya. Yaitu melihat hal ini dan hal itu bisa terjadi, bagaimana saya bisa lolos daripada ujian ini? Atau berbagai macam cara yang dia fikirkan dengan sebab musabab apa yang bisa terjadi. Orang-orang yang berkata, memohon perlindungan, dengan mengucapkan “Hasbiallah” namun memiliki hati yang lalai seperti ini, mereka tetap mendapatkan perlindungan daripada Allah. Mengapa? Karena kalimat yang diucapkan adalah kalimat yang suci dari-Nya. Maka meraka tetap mendapatkan perlindungan walaupun hati mereka adalah hati yang lalai atau gaflah. Wallahu’alam.
Dr. Gibril Fouad Haddad