Konsep Zikir, Tafakkur Dan Tazakkur*

Desember 27, 2023 - 14:49
Desember 27, 2023 - 17:51
Konsep Zikir, Tafakkur Dan Tazakkur*
Sumber foto: Facebook VISIT besilam babussalam

Allah Swt. Berfirman dalam surat Ali Imran 191,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Allah menyebutkan bahwa golongan ulul-albab itu ialah mereka yang sentiasa berzikrullah dan tafakkur muraqabah terhadap tanda-tanda kewujudan Allah, sifat-sifat keagungan-Nya dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta kejadian-kejadian di langit (yang berada di alam malakut) dan di bumi (yang mereka lakukan sepanjang masa hidup mereka) dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring (jaga dan tidur).

Contoh  dalam realita pengamalan; hati menyebut “Allah, Allah, Allah,” pikiran  tertumpu pada Maujud (الموجود) Ilah (الجلال) dan Rabb (الجمال).

Dalil yang digunakan ialah ayat 56, surat al-A’raf,

 وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ

Maksudnya adalah, “Hendaklah kamu ingat dan menyebut Allah dalam keadaan hati kamu takut kepada Allah dan hati yang bergantung kepada kesempurnaan-Nya.”

Demikian juga ayat 16, surat Al-Sajadah,

 يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ

Ini pula contoh amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang bangun bertahajjud jika mereka berzikir sehingga hati mereka jadi benar-benar takut kepada kebesaran Allah dan tawakkal kepada kesempurnaan-Nya.

Coba kita fokus dan fikirankan secara mendalam pada dua kata kunci يَذْكُرُون (senantiasa berzikir) dan يَتَفَكَّرُون (senantiasa bertafakkur). Berdasarkan kepada fakta-fakta dan keterangan di atas maka sebagian ulama tarekat menegaskan bahawa amalan zikrullah itu seperti juga orang berjalan menggunakan kedua kaki kiri dan kanan. Zikir ibarat kaki kanan, tafakkur ibarat kaki kiri. Sekiranya lidah atau hati berzikir tanpa tafakkur, maka itu sama dengan orang berjalan menggunakan sebelah kaki kanan, sedang kaki kiri diikat pada tiang. Seolah-olah merasa berjalan tetapi tidak bergerak kemana-mana.

Ibnu ‘Athaillah Sakandari menggambarkan perjalanan zikir orang tersebut tidak sampai ke tujuannya, seperti keledai yang memutari penggiling gandum selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun tetap berada di tempat yang sama.

Dalam Kitab Al Hikam disebutkan,

لا ترحل من كونين الى كونين كالخمار الرحي المكان الذي ارتحل منه هو الذي ارتحل اليه ولاكن ارحل من الاكوان الى المكون فان الي ربك منتهي

“Janganlah sekali-kali anda meninggalkan satu makluk pergi ke satu makhluk yang lain yang tidak ada penghujungnya; kalau begitu perjalanan anda kepada Allah seperti juga perjalanan khimar (keledai) yang menggiling gandum, tempat yang dituju ialah permulaan jalannya. Akan tetapi tinggalkanlah seluruh makhluk dan terus menuju kepada pencipta makhluk yaitu Allah. Sebab Allah berfirman, ‘Sesungguhnya akhir perjalananmu ialah kepada Allah, Tuhanmu.”

Kemudian pada lanjutan ayat 191 surat Ali Imran,

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار

Karena ilmu mereka ditingkatkan ke tingkat makrifah oleh Allah, dan mereka mampu mengucapkan, “Ya Allah, Ya Rabbana, (setelah Engkau karuniakan kami Makrifat maka barulah kami paham) sesungguhnya semua kejadian yang Engkau jadikan tidaklah kosong. Karena sebenarnya pada hakikatnya semuanya penuh dengan rahasia dan hikmah-Mu yang tidak terhingga. Maha Suci Engkau Ya Allah, peliharalah kami dari api neraka.” 

Ucapan ulul albab yang tersebut menjadi dalil bahwa mereka telah disampaikan oleh Allah ke tingkat tazakkur. Hasil dari zikir dan tafakkur yang mereka lakukan secara konsisten.

Ucapan doa mereka seperti yang diterangkan di atas menandakan bahwa zikir dan tafakkur yang mereka lakukan secara konsisten itu telah diterima oleh Allah. Allah juga telah mengkaruniakan kepada mereka al-tazakkur.

Allah berfirman ayat 19, surat ar-Ra’d,

 اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِۙ

Maksudnya adalah bahwa hanya ulul albab sajalah yang mampu bertazakkur.

Lalu, secara konsep apakah yang dimaksud dengan tazakkur? Dari sudut bahasa tazakkur bermakna ingat dan terbayang dengan jelas pekara yang diingat. Misalnya seorang ibu yang anak kecil kesayangannya meninggal dunia. Ketika ibu tersebut mengingat anak kecilnya seorang diri, maka terbayang jelas penampakan anak tersebut di dalam hatinya. Maka sang ibu bertazakkur atas anak kecilnya yang telah meninggal.

Contoh lainnya, ketika Fir'aun tenggelam di Laut Merah, maka segala kebenaran disampaikan oleh Nabi Musa as. dapat dilihat dengan mata hatinya dengan jelas. Karena Allah telah menurunkan berbagai hijab yang menutupi mata hatinya. Karena itu Firaun ingin beriman namun taubat Firaun tidak diterima Allah karena sudah terlambat. Firaun bertazakkur atas kebenaran yang disampaikan Nabi Musa as.

Bila seseorang yang berzikir dan tafakkur ditingkatkan oleh Allah di peringkat tazakkur, maka ia bukan hanya mengingat nama-Nya, tetapi wujud-Nya, sifat-sifat keagungan-Nya dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya akan terbayang di ruang hati dan dirasakan kesannya di dalam hati dan jasmaninya.

Dalil yang disebutkan ialah firman Allah Swt. dalam surat az-Zumar ayat 23,

اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَۙ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْۚ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِۗ

“Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik, (yaitu) Kitab (Al-Qur’an) yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Oleh karena itu, kulit orang yang takut kepada Tuhannya gemetar. Kemudian, kulit dan hati mereka menjadi lunak ketika mengingat Allah.”

Juga firman Allah Swt. dalam surat al-Anfal ayat 2,

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.”

Selanjutnya konsep tazakkur dapat kita pahami dengan melanjutkan pada hadis Nabi saw. yang membahas tentang ihsan,

الاحسان ان تعبد الله كانك تراه فان لم تكن تراه فانه يراك

“Ihsan ialah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, sekiranya kamu tidak merasa seolah-olah melihatnya lagi, sesungguhnya kamu akan merasa Allah sentiasa melihatmu.”

Kesimpulannya tazakkur ialah pengalaman jasmani dan ruhani ketika Allah tingkatkan derajat seseorang ke tingkat Ihsan. Boleh juga disebutkan bila seseorang dinaikkan oleh Allah ke derajat Ihsan menjadi seorang muhsin. Maka seorang muhsin itulah yang dikaruniakan oleh Allah tazakkur.

Tazakkur Menghasilkan Berbagai Hikmah Zahir dan Hikmah Batin

Dari sudut ilmu, tazakkur meningkatkan ilmu yang terletak pada akal ke tingkat makrifat yang terletak di dalam hati. Maka bergantilah gelar orang tersebut dari alim kepada arif billah. Setiap orang yang arif dia juga alim, tetapi tidak setiap alim dia arif.

Dari sudut iman, imannya ditingkatkan oleh Allah ke tingkat yakin. Maka ketika beriman gelarnya adalah mukmin, yang bentuk pluralnya adalah mukminun atau mukminin, sesudah ia yakin maka gelarnya mukin, yang bentuk pluralnya adalah mukinun atau mukinin.

Ulasan dari sudut ilmu dan sudut iman inilah yang menjadi tujuan utama pengamal tarekat. Nabi Ibrahim as. pada satu peringkat hidupnya telah dikaruniakan Allah ilmu mengenai Qudrat dan Iradah-Nya. Dengan ilmu saja pada akal, baginda merasakan hatinya belum yakin, tandanya ia merasakan hatinya belum tenang. Lalu baginda berdoa minta ditingkatkan ilmunya kepada makrifat. Hal ini disebut oleh Allah dalam firmannya surat al-Baqarah ayat 260,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ

"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati’. Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).”

Akhirnya Allah karuniakan Nabi Ibrahim as. peningkatan ilmunya kepada makrifat. Allah berfirman dalam surat al-An’am ayat 75,

كَذَٰلِكَ نُرِىٓ إِبْرَٰهِيمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلْمُوقِنِينَ

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.”

Menyempurnakan sifat takwa dan tawakkal sehingga tercapailah apa yang dijadikan oleh Allah bagi orang yang sempurna takwa dan tawakkalnya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah pada surat at-Thalaq 2-3,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.”

Bila seseorang dikaruniakan Allah tazakkur maka dengan sendirinya orang tersebut di maksukkan oleh Allah dalam golongan ulul albab. Allah berfirman dalam surat ar-Ra’d ayat 19:

اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِۙ

“Hanya ulul albab sajalah yang mampu tazakkur”

Pengamal tarekat yang dinaikkan derajatnya oleh Allah ke peringkat tazakkur akan dikaruniakan oleh Allah ciri-ciri sifat kehidupan agama zahir dan batin golongan ulul albab, seperti yang Allah sebutkan dalam surat ar-Ra’d ayat 19-24 yang artinya,

“Hanya ulul albab sajalah yang mampu tazakkur. (yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian. Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (yaitu) surga-surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangan dan anak cucunya, sedang para malaikat masiuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (sambil mengucapkan), "Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu." Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.”

Allah anugrahi akhlak yang baik, yang selalu dipuji akhlak mereka dalam al-Quran, surat al-Furqan ayat 63-66 yang artinya,

“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "salām,". Dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal,”. Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

Allah anugerahi hati yang ikhlas, seperti yang Allah sebutkan dalam surat ar-Ra’d ayat 17-18 yang artinya,

“Sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.”

Amalan yang terbaik maksudnya adalah amalan yang ikhlas yang dilakukan oleh orang yang berhati ikhlas. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman:

الإخلاص سِرٌّ من أسراري أودعته قلب مَنْ أحببت من عبادي، لا يطلع عليه مَلَك فيكتبه، ولا شيطان فيفسده

“Ikhlas adalah satu diantara beberapa rahasia_Ku, yg aku letakkan nya pada hati hamba -Ku yang Aku cintai, malaikat tidak dapat melihat untuk mencatat nya, demikian pula syetan tidak melihat, sehingga akan merusak nya.”

Mereka yang berhasil menjadi hamba Allah yang berhati ikhlas dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 112,

بَلٰى مَنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهٗٓ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”

Allah anugerahi kesadaran mencari ilmu di bawah bimbingan mursyid, karena mursyid memainkan peranan penting untuk memberi bimbingan dalam hal ta’lim (menyampaikan ilmu dan kepahaman), tarbiyyah (menerapkan ilmu dalam bentuk amal dan akhlak) dan tarqiyyah (peningkatan); a) Peningkatan ahwal qalbiyyah (hal keadaan hati) dan maqamat qalbiyyah (sifat-sifat hati) dari mazmumah ke mahmudah. b) Peningkatan kaedah mengenal Allah dari tingkat sama’i (menggunakan dua dalil yaitu dalil naqli dan aqli) ke tingkat dzauqi (dengan dalil yang dimusyahadahkan oleh pandangan hati) atau dari peringkat syariat menggunakan akal ke tingkat hakikat menggunakan hati. c) Peningkatan ilmu dan kepahaman tauhid dari ilmu ke tingkat makrifah. d) Gelar (dari seorang alim ke tingkat arif billah). Tarqiyyah tersebut kadang-kadang disebut dengan istilah irsyad dan takmil.

Dalam ilmu tarekat dan tasawuf, bukan hanya golongan yang kurang ilmu saja yang diwajibkan mempunyai syekh atau mursyid. Seorang alim besar yang terkenal keilmuannya sekalipun wajib berguru dengan seorang syekh mursyid.

Mencari guru adalah satu kewajipan, kerana seseorang mukmin tidak akan bersih dari kerusakan hati dan sifat-sifat tercela. Hanya nabi dan rasul-rasul saja yang maksum. Seorang mukmin harus mencari guru mursyid di daerah tinggalnya dan di  dalam negerinya. Sekiranya dalam daerah dan negerinya tidak ada maka wajib ia mencari guru mursyid di luar negaranya. Demikian pandangan sebagian ulama sufi. Bahkan lebih ekstrem Syekh at-Tayyibi menegaskan jika sekiranya kedua orang tuanya menghalangi untuk mencari guru maka halangan keduanya tersebut boleh diabaikan.

Imam Ghazali (w. 505H) yang telah bergelar Hujjatul Islam mendapat bimbingan dari syekhnya yaitu Syeikh Yusuf Nassaj at-Tusi. Sultanul ulama’ Izzudin Ibnu Abdul Salam (w. 660H) menjadikan Syekh Abu Hasan al-Syadzili (w. 656H) sebagai syekhnya. Imam Suyuti (w. 911H) menjadikan Syekh Muhammad Al-Magribi As- Syadzili sebagai syekhnya. Syekh Fakhruddin ar-Razi (w.606 H) berguru dengan Syekh Najmuddin al-Kubra (w.618H).

Demikianlah kita bisa melihat banyak ulama terkenal tetap mendapat bimbingan syekh mereka masing-masing ketika belajar dan beramal dengan tarekat tasawuf. Sebaliknya, mereka yang tidak bertarekat tidak dikaruniakan oleh Allah syekh atau mursyid. Dari sudut ini tampak satu perbedaan yang jelas antara mereka yang bertarekat dengan yang tidak bertarekat. Orang yang tidak bertarekat hanya akan dapat taklim dan tarbiyyah. Oleh kerana itu mereka tetap kekal di peringkat syariat saja. Sebaliknya mereka yang bertarekat disebabkan mereka dapat tarqiyyah mengikuti pimpinan syekh mursyidnya, maka mereka yang bertarekat ditingkatkan oleh Allah dari tingkat syariat kepada tingkat hakikat, dapat mengenal Allah secara dzauqi dan dapat bermusyahadah terhadap Allah.

Dari berbagai fakta yang dijelaskan di atas maka dapat kita pahami bahwa tujuan utama pengamal tarekat ialah peningkatan derajat dari tingkat Islam dan Iman ke tingkat Ihsan. Maka sesuailah apa yang diungkapkan oleh seorang ahli hadis dan juga sufi yang terkenal di india yaitu Maulana Muhammad Zakaria Khandahlawi, dalam kitabnya As-Syariah wa at-Thariqah; tarekat ialah kaidah amalan yang apabila diamalkan oleh seseorang, maka dapat mengantarkannya ke derajat Ihsan.

Dari sudut tauhid pula maka tujuan utama tarekat ialah untuk menyempurnakan tauhid seseorang pengamalnya hingga orang tersebut bergelar seorang Muwahhid atau seorang yang berhasil menyempurnakan tauhidnya kepada Allah. Antaranya ialah mentauhidkan wujud Allah, keagungan dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya (wujuduhu, jalaluhu, jamaluhu atau wujuduhu, uluhiyyatuhu dan rububiyyatuhu).

Seorang yang Muwahhid atau yang telah berhasil mengesakan Allah, maka hatinya akan menjadi Qalbun Salim seperti yang disebutkan dalam surat as-Syuara’ ayat 88-89 yang artinya,

“(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

Maksud Qalbun Salim ialah hati yang berhasil mentauhidkan Allah, hanya Allah saja yang ada di dalam hati. Dari sudut taubat pengamal tarekat bukan hanya bertujuan taubatnya diterima oleh Allah, tetapi diharapkan taubatnya juga menjadi taubat nasuha sehingga taubatnya ditingkatkan oleh Allah ke tingkat inabah. Bila taubatnya sampai ke tingkat inabah, maka pengamal tarekat tersebut sentiasa diberi hidayah oleh Allah. Allah berfirman dalam surat ar-Ra’d ayat 27,

قُلْ اِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ اَنَابَۖ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk ke (jalan)-Nya bagi orang yang bertobat.”

Apabila orang yang bertarekat itu berhasil mencapai tingkat inabah dalam usaha taubat terpimpin yaitu taubatnya yang dipimpin gurunya. Maka ahli tarekat tersebut mempunyai tiga ciri penting, yaitu beriman, beramal saleh dan hati menjadi mutmainnah. Ketiga ciri tersebut disebut Allah dalam firman-Nya ayat 28 surat yang sama,

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram (mutmainnah).”

Dari sudut sifat kehambaan kepada Allah, pengamal tarekat dijanjikan oleh Allah keridlaan-Nya menjadi hamba-Nya yang sempurna dan dapat balasan nikmat. Sebaik-baiknya di dunia dan akhirat iaitu dua surga; yaitu musyahadah terhadap Allah di dunia dan melihat Dzat Allah di akhirat dengan pandangan mata kepala. Allah berfirman dalam surat al-Fajr ayat 27-30 yang artinya,

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla dan diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Dari sudut ibadah pengamal tarekat akan berhasil mengerjakan perintah Allah dengan amalan terbaik. Allah berfirman dalam surat az-Zumar ayat 18,

ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Di samping itu pengamal tarekat akan benar-benar menjadi orang yang bertaqwa dan bertawakkal dengan sempurna. Rasa takutnya kepada Allah di dalam hati akan membentuk sifat taqwa yang sempurna, dan kecenderungan hatinya kepada kesempurnaan Allah atau rububiyyah-Nya akan membentuk sifat tawakkal yang sempurna dan menggantungkan hatinya kepada Allah Swt.

Golongan Muqarrabun

Pengamal tarekat juga seharusnya mempunyai cita-cita dan harapan yang teguh agar Allah memberikan derajat muqarrabun di akhirat kelak. Adapun manusia beriman yang akan dibahagiakan oleh Allah kelak di akhirat terbagi menjadi dua golongan, yaitu Golongan Ashaabul-Maimanah dan Golongan Muqarrabun.

Editor: Khoirum Millatin

*Tulisan merupakan makalah dari Syekh Dr. Hj Jahid Bin Hj Sidek Al-Khalidi yang dipresentasikan dalam kegiatan Seminar Internasional Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, di Babussalam Langkat, Indonesia, 2023