KH. Nur Muhammad Suharto Al-Qadimiy; Pengalaman Hidup adalah Ayat Kauniyah untuk Memahami Ayat Qauliyah

Agustus 29, 2023
KH. Nur Muhammad Suharto Al-Qadimiy; Pengalaman Hidup adalah Ayat Kauniyah untuk Memahami Ayat Qauliyah

Prajurit yang Sufi dan Religius

Seperti tampak dalam potret, seorang prajurit TNI AD sedang berfoto bersama Guru Mursyidnya, Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), bersama istri dan tiga anak perempuannya, juga calon bayi yang ada dalam kandungan sang istri yang kemudian juga terlahir dengan jenis kelamin perempuan.

Sepanjang hidupnya, salah satu hal yang menjadi fokusnya adalah tentang nasib anak-anaknya, tentang nasib perempuan di sekitarnya, dan tentang nasib kemerdekaan perempuan yang kerap tertindas karena narasi-narasi agama yang misoginis. Baginya, ia tidak akan bahagia jika anak-anak perempuannya tidak bahagia, itulah yang menjadi perjuangan tiada akhir yang dilakukannya.

Terlahir dengan nama Suharto, menjadi yatim di usia kanak-kanak membuatnya peka terhadap kaum-kaum rentan/mustadh’afin. Menurutnya, hidup memang harus seimbang, ada yang lemah dan kuat, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menindas kaum yang lemah, justru menjadi ladang untuk yang kuat agar dapat membantu yang lemah.

Berdasarkan penuturan almarhum ibunya, Suharto kecil yang lahir di Jombang, 24 Juni 1958 ini merupakan sosok sangat penyayang. Ia rela di hari pertamanya pergi ke sekolah dasar dengan beralas kaki kantong kresek saat sang adik perempuan satu-satunya meminta sepatu barunya. Ia melihat kondisi yang sama pada dirinya dan sang adik, inilah kondisi bagaimana seorang anak yatim yang kuat dapat berbagi sesama dengan anak yatim yang membutuhkan.

Suharto muda bercita-cita ingin menjadi prajurit, namun cita-citanya ini ditentang oleh ibundanya. Saat libur kuliah semester di UNDAR Jombang, ia pergi ke rumah pakdenya yang merupakan prajurit TNI AD di Cimahi, Jawa Barat. Kesempatan itu ia gunakan untuk pergi ke Kalimantan Barat dan mengikuti seleksi prajurit di sana. Akhirnya ia dapat diterima menjadi prajurit dan membuktikan kepada ibunya, bahwa walaupun ia menjadi prajurit ia tetaplah santri yang tetap solat lima waktu, tidak main perempuan, tidak mabuk-mabukkan dan menjaga kehidupan sesama. Guna tidak mengecewakan hati ibunya, ia tetap menempuh pendidikan strata satunya dengan izin komandan kesatuan di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta filial Pontianak dengan memilih jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Latar belakang keilmuannya inilah yang kemudian mengantarnya diminta oleh Madrasah Aliyah Negeri Sanggau untuk membantu mengajar mata pelajaran Bahasa Arab. Permintaan ini mendapat persetujuan dari Komandan Kodim 1204/Sanggau. Ia adalah guru yang dicintai murid-muridnya, dengan seragam lengkapnya ia mengajar para murid dan memotivasi mereka untuk menempuh pendidikan ke jenjang berikutnya. Tidak sedikit pula para murid yang dibantu untuk mendapatkan beasiswa pendidikan melalui jaringan yang ia miliki.

Menurut penuturan rekan-rekannya saat berada di batalyon, prajurit santri ini adalah sosok yang sangat menjaga kehidupan dan menghargai kehidupan. Walaupun ia masih bujang, ia dapat bertugas dengan baik saat rekan-rekannya sedang pergi bertugas. Dengan sepenuh jiwa ia mengurus keluarga dan bayi-bayi prajurit yang sakit, walau harus menghabiskan seluruh gajinya agar sang bayi mendapatkan obat terbaik agar tidak merasakan sakit yang berkepanjangan. Bahkan, saat istri prajurit ada yang kehilangan bayinya saat proses melahirkan, dengan cekatan ia mengurus pemulasaraan jenazah sang bayi dengan membawanya menggunakan sepeda motor dengan diikat dengan jarik, mengingat keluarga sang prajurit maupun istrinya tinggal di tempat yang jauh dan tidak memungkinkan untuk datang mengurusnya. Atas dedikasinya terhadap kesatuannya, ia dipercaya menjadi perwakilan Batalyon Infanteri 643/Wanara Sakti Korem 121/ Alambhana Wanawai.

Pun saat ia ditugaskan di daerah penugasan, salah satunya Timor-Timur, ia dapat menjaga nyawanya dan nyawa-nyawa yang terjebak dalam kondisi ini. Sebelum berangkat bertugas, ia sempatkan pulang kampung dan meminta izin ibunya di Jombang, tidak terlewat juga pada gurunya saat nyantri. Ini adalah bagian dari doa sang ibu dan salah satu karomah Romo Syekh Solihin Hamzah yang merupakan gurunya, Mursyid TQN Cukir sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Al-Ghozaliyah Sumbermulyo, Jogoroto, Jombang ,sehingga Suharto yang sedang bertugas ini dapat kembali dengan selamat dan tidak berjumpa dengan pihak yang harus dihadapi selama bertugas (beliau belajar ilmu agama dari berbagai guru yang berada di dalam dan luar negeri).

Oleh Gurunya ini Suharto diberi amalan sebagai ‘jimat’ untuk mewujudkan maqashid syariah. Lagi-lagi tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk kemungkinan-kemungkinan pihak lain yang dijumpainya. Oleh karena itu, jika bertandang ke kediamannya, kita tidak akan menemukan lencana-lencana penghargaan atas penugasan-penugasannya, namun piagam penghargaan tersebut seluruhnya disimpan rapi dalam arsip pribadinya. Berdasarkan pernyataan anak ketiganya yang merupakan alumnus magister Universitas Pertahanan RI, Suharto tidak ingin membanggakan dan memajangkan simbol pertumpahan darah yang terjadi antar sesama manusia tersebut.

Pemahaman Tentang Karunia Anak

Wakil Talkin TQN Pondok Pesantren Suryalaya yang diangkat langsung oleh Abah Anom ini melaksanakan pesta pernikahan dengan konsep minimalis, namun dibangun dengan nilai-nilai mubadalah yang harmonis. Oleh mertuanya, pada saat menikah ia diberi nama tambahan Muhammad untuk keberkahan dalam menempuh hidup barunya.

Seperti pemahaman orang Jawa pada umumnya, memiliki anak laki-laki adalah suatu keharusan untuk menjaga trah keluarga. Memiliki dua anak perempuan membuatnya sangat berharap anak ketiga yang akan dilahirkan sang istri berjenis kelamin laki-laki. Namun apa dikata, takdir berkata lain, ternyata anak ketiganya adalah perempuan lagi. Saat mengetahui hal tersebut, ia memiliki sedikit kesedihan dalam hatinya. Sembari menunggu sang anak dibersihkan oleh petugas kesehatan, ia pulang ke rumah dan menatap lemari bukunya dan mengambil sebuah kitab hadis, saat membuka kitab tersebut tampak sebuah hadis riwayah Abu Daud yang berbunyi,

“Siapa yang memiliki anak perempuan, dia tidak membunuhnya dengan dikubur hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak lebih mengutamakan dari anak laki-laki, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”

Setelah membaca hadis tersebut ia langsung kembali ke rumah sakit dan menemui sang istri. Ia menceritakan apa yang baru saja ia alami kepada istrinya, dan meyakinkan diri dengan mengutip pengalaman Nabi di mana penerus trahnya juga adalah anak-anak perempuannya. Sesaat setelah berbincang dengan istrinya, si bayi yang telah dibersihkan datang dan dengan segenap hati ia mengadzani dan berdoa untuknya.

Menurut penuturan sang istri, Suharto selalu mempersiapkan nama untuk calon bayinya. Saat itu belum ada teknologi USG untuk mengetahui jenis kelamin jabang bayi. Namun bagi Suharto, apapun jenis kelamin anaknya, ia akan memberikan nama awalnya seperti nama ibunya. Tentunya ini merupakan simbol gebrakan atas budaya patriarki yang ada, karena sejatinya seorang anak tidak saja bin atau binti bapaknya, tetapi juga bin atau binti ibunya. Hal tersebut juga ia lakukan saat ada yang meminta barokah nama padanya, ia pasti mengambil dari nama ayah atau ibu sang bayi, hal ini dimaksudkan agar anak-anak tidak perlu jauh-jauh mencari model tuntunan kehidupan, melainkan dari orang tuanya sendiri, dengan demikian para orang tua pun harus mampu memperbaiki diri dari hari ke hari, karena mereka adalah suri tauladan bagi anak-anaknya. Inilah realisasi dan wujud ikhtiar dari definisi nama sebagai doa.

Tidak memikirkan jenis kelamin anaknya tidak membuat Wakil Rais Syuriyah PWNU Kalimantan Barat ini berhenti berpikir dan khawatir. Ia tetap mengkhawatirkan bagaimana nasib anak-anak perempuannya ini, terlebih budaya yang melekat di sekitarnya masih memarginalkan perempuan, baik dari segi budaya maupun agama. Kondisi ini yang membuatnya tidak berhenti berpikir untuk mengusahakan sekolah bagi anak-anaknya dengan segala keterbatasannya. Dikirim anak-anaknya jauh ke Pulau Jawa dengan pengetahuan agama yang hanya didapatkan darinya. Bukannya ia tidak ingin memberikan pendidikan agama sejak diri kepada anak-anaknya melalui orang lain, namun ia tidak ingin asal memberikan pendidikan tersebut, sehingga ia sangat selektif memilih guru-guru agama untuk anak-anaknya. Semua anak perempuannya disekolahkan hingga jenjang strata tiga. Juga dipilihkan pesantren dengan dasar ilmu jasmani dan rohani yang dipilihkan juga olehnya. Baginya, memilih guru itu penting, karena pemahaman dan ideologi guru atas ayat itu sangat berhubungan terhadap pemahaman murid yang berdampak pada bagaimana mereka kelak menentukan pilihan-pilihan hidup yang manfaat.

Menyekolahkan anak-anak lagi-lagi tidak membuatnya berhenti khawatir akan nasib anaknya, saat anak-anaknya memasuki masa menikah dan telah bertemu jodohnya, ia berhari-hari tidak dapat tidur. Padahal, ia sangat tahu dengan siapa anaknya akan menikah, dan ia juga tahu bahwa calon mantunya akan menjamin kebahagiaan anak-anaknya. Sebagai penyempurna tugas untuk menikahkan anaknya, ia berikan waktu untuk anak dan calon mantunya guna mengikuti kelas pra nikah pada psikolog keluarga. Tidak sampai di sana, sesaat sebelum akad nikah, ia juga menodong sang calon menantu di hadapan para hadirin yang hadir untuk berjanji tidak akan menduakan anaknya sepanjang hidup mereka berdua. Hal tersebut ia lakukan karena ia tidak ingin jika anaknya harus ia lepaskan pada menantunya dan tidak mendapat jaminan kebahagiaan karena posisinya sebagai istri dan perempuan yang kerap didiskriminasi dalam ikatan pernikahan. Ia mengutip hadis Nabi yang diriwayahkan Muslim, di mana beliau sangat keberatan saat Sayyidina Ali bermaksud melakukan poligami terhadap Sayyidah Fatimah, menyakiti sang putri, berarti juga menyakiti sang ayah, demikian pula yang dirasakan Suharto.

Rasa sayang dan perhatian terhadap anak-anak perempuannya tidak lekang oleh waktu. Kendati telah lepas tanggungjawab dirinya atas anak-anaknya, namun kondisi ini tidak berlaku baginya. Seperti saat anak perempuannya sedang mengandung dan melahirkan, ia masih mengkhawatirkan dan ingin menjamin kondisi anak dan cucunya. Ia kerap me-nyounding menantunya agar tidak macam-macam di luar. Apabila di sini sang bayi dirubung semut, itu tandanya ayahnya sedang serong di luar sana. Sebegitunya dia menjaga dan melakukan jaminan atas kebahagiaan anak, mantu dan cucunya. Dan ilo-ilo ini juga sering beliau berikan pada orangtua-orangtua yang memiliki anak. Beliau sangat yakin akan wahyu Tuhan yang berbunyi,  fa man ya’mal mitsqaala dzarrah khayran yarah wa man ya’mal mitsqaala dzarrah syarran yarah, sehingga sangat melakukan ihtiyath ekstra dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi, baik itu sebagai seorang hamba, suami, ayah, maupun peran lain yang dimiliki. Banyak tawaran poligami untuknya, namun tidak pernah ia gubris karena baginya apa yang dilakukannya akan mendapat balasan dan kembali padanya, termasuk melalui anak-anak perempuannya. Ia tidak ingin anak perempuannya mendapatkan diskriminasi sebagai perempuan, oleh karena itu ia sangat menjaga pandangannya, sikapnya, perkataannya dan hal lainnya kepada perempuan selain mahramnya. Dengan demikian, baik perempuan maupun laki-laki akan mendapatkan kebahagiaan yang maslahah.

Mencapai Maqshid Syariah

Keturunan ketujuh Mbah Mutamakkin ini juga merupakan orang yang dipercaya oleh Bapak Baisuni, Bupati Sanggau saat itu, untuk memakmurkan Masjid Baitur Rahman yang terletak di Sanggau Permai, kota pemekaran pemukiman di Sanggau, Kalimantan Barat. Suharto dengan pemikiran kemanusiaannya tidak pernah membeda-bedakan status keyakinan seseorang, terlebih ia tinggal di tempat dengan multi suku dan agama. Ia mampu menjadi jembatan mis-informasi bagi saudara-saudara non Muslim yang kerap dilabeli kafir dengan segala atributnya. Sikapnya ini kerap menimbulkan problematik dan membuatnya diboikot untuk mengisi ceramah dalam peringatan hari besar Islam di sana. Terlebih saat ia mengikuti pilkada di kabupaten tersebut, berpasangan dengan sosok non Muslim membuatnya diserang dari segala arah. Pilihannya tersebut sejatinya tidak direstui oleh sang ibu, karena sebagaimana pendahulunya yang harus mendapat banyak kerugian dan kesulitan hidup disebabkan pilihan politik yang penuh dengan dinamikanya. Namun Suharto tetap melanjutkan tujuannya. Baginya, kaum rentan dapat dibantu secara maksimal salah satu jalannya adalah dengan peran politik yang dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dilandaskan atas kebutuhan rakyat. Dengan visi-misi kampanyenya, “Perut kenyang, jalan lancar,” Suharto memprioritaskan kebutuhan jasmani manusia sebagai dasar pelaksanaan kebutuhan infrasturktur bersama yang berkelanjutan.

Jika kita menilik piramida kebutuhan milik Abraham Maslow, yang menjadi tagline kampanyenya tersebut merupakan hirearki kebutuhan yang paling mendasar yang harus dipenuhi manusia, saat kebutuhan ini terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan yang lain juga akan mengikuti. Tagline ini juga senada dengan maqashid syariah, ketika kebutuhan dasar tercukupi, setiap insan akan dapat menjaga akal, agama, jiwa, keturunan, serta hartanya. Perut adalah dasar kebutuhan dari segala dasar, saat perut terasa kosong dan tidak ada yang dapat mengisinya, manusia akan rela melakukan apapun untuk membuatnya kenyang, entah itu menggunakan cara yang diperbolehkan, maupun tidak. Oleh karena itu, untuk menekan kemudaratan yang mungkin terjadi, membuat perut kenyang sesama manusia adalah hal yang penting dan mendasar.

Hidup sebagai santri prajurit, membentuk hidupnya menjadi pribadi yang visioner. Tidak hanya untuk kehidupan saat ini, ia juga memikirkan bagaimana kehidupan orang-orang terkasihnya jika ia tiada. Ia ingin orang-orang yang ditinggalnya mendapat jaminan kebahagiaan walaupun ia tidak lagi di dunia. Ini tidak saja berlaku untuk keluarga intinya, namun juga orang-orang yang berada dalam bimbingan amaliyahnya. Pengkaderan selalu ia lakukan dengan menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Dan nilai-nilai keluarga serta hubungan suami istri adalah yang ia utamakan, karena untuk melihat kesejahteraan suatu bangsa ditentukan bagaimana masing-masing individu mampu saling mensejahterakan relasi yang ada dalam komponen massyarakat terkecil, yakni sebuah rumah tangga. Ia selalu menekankan bahwasanya kullukum raain…(HR. Bukhari), dan manusia harus bersungguh-sungguh dalam menjalani kehidupan.

Menjelang Hari Wafatnya

KH. Nur Muhammad Suharto Al-Qadimiy kemudian ia dikenal, merupakan salah satu dari 541 Ulama NU yang wafat sepanjang pandemi 2020/2021. Sebagai prajurit, ia tidak meninggal syahid di medan peperangan, namun ia ditakdirkan syahid atas wabah yang menyerang. Saat dunia dilanda wabah mematikan ini, ia menyeru para ikhwan untuk dapat mengikuti protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah. Stay at home dihabiskannya untuk terus belajar dan tetap berdakwah melalui platform digital. Ikhtiar lahir dan batin sudah maksimal dilakukan, namun kehendak Tuhan tidak ada yang mampu melawan. Ia terpapar covid-19 hingga membuatnya masuk rumah sakit setelah melakukan sidang progress Disertasi di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Mendapat pelayanan di rumah sakit swasta ternyata menghabiskan banyak biaya, namun apa yang menjadi keyakinannya menjadi kenyataan, amal-amal baik selama ia hidup untuk menyelamatkan nyawa manusia diganti oleh Yang Kuasa dengan jumlah materi yang tidak ternilai, bahkan anak-istrinya tidak perlu kesulitan mencari tambahan biaya untuk segala bentuk tindakan medis yang dijalani. Seperti hadis Nabi yang sering ia ungkapkan, bahwasanya seseorang tidak akan mati sebelum apa yang diperbuat padanya kembali, dan seseorang akan dimatikan seperti kondisi yang ia sukai. Tepat jam dua dini hari ia berpulang, waktu di mana ia mendisiplinkan diri untuk bangun mandi taubat dan melaksanakan amaliyah salik. Ia dimakamkan di pemakaman keluarga besan di Kampung Godebag, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Salah satu hal yang menjadi perhatiannya semasa hidup adalah perihal hak waris anak perempuan tanpa kehadiran anak laki-laki. Sepeninggalnya, melalui wasilah KH. Marzuki Wahid, anak-anaknya mampu menyelesaikan masalah waris ini dengan cepat dan tanpa konflik. Inilah yang mendiang harapkan. Kendati raganya telah menyatu dengan tanah, namun gagasan dan cita-citanya masih diteruskan oleh anak-anaknya, para ikhwannya, dan orang-orang yang mencintainya. Hal ini terbukti dengan didirikannya Yayasan Suryaning Bumi Kalimantan di tanah Borneo. Pesantren dengan ideologi ahlussunnah wal jamaah yang mengusung kearifan lokal Dayak dan Melayu sebagai filosofi yang melekat dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Dengan demikian sejatinya hanya jasadnya saja yang telah tiada, namun jiwa dan ruhnya masih menemani (Qs. Al-Baqarah: 154) kehidupan orang-orang yang dikasihinya melalui gagasan dan akhlak dirinya sebagai ayat kauniyah-Nya.

Jika ditanya siapa ulama perempuan yang paling penulis kenal, penulis akan menjawab nama beliau. Nama yang menjadi ayat kauniyah Tuhan melalui prinsip hidup dan karakter yang dimilikinya sebagai bentuk penghayatan terhadap ayat-ayat qauliyah-Nya. Beliau dengan sensitifitas gender atas segala pengalaman hidupnya merupakan interpretasi dari rahman dan rahim-Nya melalui sifat maskulin dan feminin yang terdapat dalam kesehariannya.

Penulis: Aspiyah Kasdini. R. A
Editor: Khoirum Millatin