Habib Luthfi Menjawab – Apa Arti Zuhud yang Sebenarnya?

September 24, 2023
Habib Luthfi Menjawab – Apa Arti Zuhud yang Sebenarnya?

Pertanyaan: Kalau kita telaah sejarah para wali Allah swt, dalam kehidupannya, ada yang menghargai dunia dan ada yang tidak.

Yang menghargai dunia berargumen, walaupun memiliki harta banyak, hati mereka tidak terpengaruh, tidak terikat pada dunia. Sebaliknya yang tidak menghargai dunia beralasan, kalau orang menghargai dunia, mustahil hatinya tidak terikat dengan dunia.

Tetapi mereka, baik yang pro maupun yang kontra dunia, memiliki kesamaan dalam menata hati. Hati bagi mereka harus suci, hati sebagai alat untuk ma’rifatullah dan tidak boleh dikotori oleh nafsu duniawi, karena akan membutakan mata hati untuk lebih mengenal Allah swt. Bagaimana pendapat Habib Luthfi menjembatani dua kecenderungan amaliah wali yang terkesan berseberangan ini. Untuk masa sekarang, mana yang terbaik untuk diteladani?.

Jawaban Habib Luthfi: Sebenarnya para wali Allah swt tersebut dalam memandang dunia, sama. Zuhud adalah dasar utama untuk mengantisipasi kecintaannya kepada dunia. Tetapi tidak berarti meninggalkan syari’at Siapakah yang tidak ingin berzakat dan berhaji? Keduanya memerlukan dunia sebagai sarananya.

Jelasnya, para wali Allah swt tersebut tidak meninggalkan syari’at Yang Maha Kuasa dan Rasul-Nya. Ikhtiar sebagaimana layaknya manusia hidup. Mereka mengerti, sungguh dunia ini menyebabkan kelalaian dan kesombongan, maka dari itulah mereka menjauhkan hatinya dari cinta dunia.

Tiada kecintaan terkecuali kepada Sang Percipta dan Rasul Nya. Karana itu hanya keabadian yang dicintainya. Berbeda dengan dunia yang tiada kekekalan di dalamnya. Setiap wali Allah swt, setinggi apa pun ketinggian derajat yang diperolehnya, tetap merasa fakir di sisi-Nya. Karamah yang luar biasa bagi mereka justru makin membuat malu kepada al-Khalik. Apa artinya dunia ini dibandingkan dengan derajat serta karamah dan kedekatan kepada Allah swt sehingga ia diangkat sebagai para kekasih-Nya.

Baik bagi yang diberi kekayaan maupun yang fakir, keduanya melahirkan rasa syukur. Syukur yang pertama, rezeki tidak mengubah hatinya dalam mencintai Allah swt. Sedangkan mereka yang fakir, dunia tetap disyukuri, walaupun keberadaannya kecil. Bagi para wali Allah swt, kekayaan dan kefakiran tidak ada artinya. Yang memiliki kekayaan tidak berarti memiliki kepuasan, karena dalam hatinya tetap merasa fakir di sisi Allah swt.

Manakah yang patut diteladani? Semuanya dapat diteladani. Lihatlah Nabi Allah Dawud as dan Nabi Allah Sulaiman as yang tercatat sebagai nabi, raja yang kaya raya. Apakah Nabi Allah Dawud as dan Nabi Allah Sulaiman as lebih utama dibandingkan dengan para nabi yang lain, tentu tidak. Semuanya memberikan keteladan dalam kebaikan. Sama seperti para pewarisnya, yaitu ulama dan auliya.

Sumber: Umat Bertanya Habib Luthfi Menjawab