Habib Faisal Djindan: Pahami Kelembutan Allah dalam Al-Quran melalui Nilai-nilai Universal yang Dibawa Para Nabi

September 20, 2023
Habib Faisal Djindan: Pahami Kelembutan Allah dalam Al-Quran melalui Nilai-nilai Universal yang Dibawa Para Nabi

Akhlak Rasulullah adalah al-Quran. Bagaimana keindahannya tidak bisa disetarakan oleh keindahan dunia. Karena ketika Allah mendeskripsikan dunia dalam al-Quran, Dia menggunakan kalimat berkonotasi rendah seperti, “dunia hanya perhiasan, “dunia hanya permainan”, “dunia itu kecil”, tapi ketika Allah menyampaikan akhlak Rasulullah, Dia menyebutnya dengan “Khuluqun Adzim (Akhlak yang agung). Jika dunia dan isinya tidak bisa kita gambarkan, bagaimana kita mampu menggambarkan akhlak Rasulullah? Habib Faisal Djindan membreak-down hal ini menjadi pertanyaan-pertanyaan tajam yang menukik pada diri kita masing-masing.

Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 159,

 فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.”

Dalam ayat tersebut ada kata “لَوْ” yang artinya “seandainya”. Secara bahasa, kata “seandainya” adalah sesuatu yang tidak pasti terwujud. Dalam konteks ini, Rasulullah tidak mungkin melakukan kekerasan dalam dakwahnya. Tapi dari situlah Allah menggambarkan bahwa seandainya Rasululllah berlaku keras hatinya, pasti semua umatnya akan lari darinya. Padahal dia muayyad, mumajjad, bahkan sudah mendapat SK langsung dari langit. Lalu bagaimana dengan yang hanya ustaz, kiai, guru ngaji yang tidak mendapat titah langsung dari Allah?

Rasulullah dikenal dengan Nabi yang paling pemaaf. Beliau selalu memberikan kesempatan kepada siapapun untuk bertaubat. Jika saja pada saat Yaumul Hisab nanti yang jadi hakim mahkamah adalah beliau, niscaya kita akan aman. Tapi rupanya ada yang lebih pemaaf darinya.

Dalam satu riwayat Allah berkata kepada Rasulullah,

“Wahai Nabiyullah, engkau begitu cinta kepada umatmu dan berlaku lemah lembut kepada mereka. Maukah engkau nanti yang menghukumi mereka di Mahkamah Yaumil Qiyamah?” Lalu Nabi Menjawab, “Tidak, Engkau lebih Rahman dan Rahim dariku.”

Jika sifat pemaafnya Rasulullah saja sudah cukup untuk menjadikannya sebagai hakim, bagaimana dengan ke-Maha Pemaafnya Allah?

Dalam kisah Nabi Musa, sewaktu ingin memulai dakwahnya kepada Firaun dan pengikutnya, Allah berfirman,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44(

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas (43) Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut (44)”

Hal yang menarik di atas adalah mengapa Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berdakwah kepada Firaun dengan kata-kata yang lembut meskipun dengan ilmunya Dia sudah tahu bahwa Firaun akan tetap menjadi kafir?

Di sini seolah-olah Allah ingin mengatakan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, jika bisa jadi sebab kelemahlembutan mereka berdualah Firaun bisa bertaubat dan sadar. Karena kelak, ketika Iqamatil hujjah, Firaun akan dimintai saksi kepada Allah termasuk apa yang dilakukan Nabi Musa. Sehingga Firaun tidak punya celah lagi untuk memprotes segala prosedur dakwah yang dilakukan karena Nabi Musa dan Nabi Harun sudah melaksanakan apa yang Allah perintahkan. Artinya jika Firaun tetap kafir itu karena memang ia menolak.

Hal ini tentu relevan dengan dakwah yang kita lakukan. Jangan pernah berpikir jika dakwah kita tidak diterima oleh orang lain, maka belum tentu karena orang tersebut menolak kebenaran dari Allah. Bisa jadi ia menolak karena kesalahan dakwah yang ada pada diri kita ketika salah memilih kata, salah dalam perlakuan, salah dalam berakhlak.

Jadi intisari al-Quran itu adalah ada dalam penggalan Surat Al Kahfi ayat 19, “وَلۡيَتَلَطَّفۡ /walyatalatthaf”, yang artinya berlakulah lemah lembut. Sehingga siapapun yang membaca Al-Quran, mentadabburinya dan mengklaim bahwa al-Quran adalah kitab sucinya, maka ia harus berlaku lemah lembut.  Karena meskipun seseorang membaca al-Quran yang tidak lain adalah firman Allah, tapi dibacakan dengan teriak-teriak, itu tetap bukan cara yang baik. Sesuatu yang baik harus dibawa dengan cara yang baik. Jangan gunakan al-Quran untuk menyakikti orang lain karena fungsi Al Quran itu melayani umat manusia.

Maka dari itu apa yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul sampai hari ini masih relevan karena ajakan-ajakan yang universal. Orang yang mencintai al-Quran pasti dalam hatinya terdapat nilai-nilai kelembutan, bukan justru sebaliknya.